Musyawarah Cara Hindari Konflik di Pemilihan Bendesa Adat
DENPASAR – Pemilihan Bendesa Adat atau ketua adat di Bali, diharaplan dilakukan dengan musyawarah mufakat. Keberadaan pemimpin adat di Pulau Dewata, berdasarkan kebersamaan dan semangat persatuan.
“Saya menerima enam pengaduan dari masyarakat adat yang menjadi konflik dalam tata cara pemilihan Bendesa Adat tersebut. Dan saat ini belum bisa tertangani secara hukum. Karena acuan penyelesaian secara hukum tidak ada dalam undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah,” kata Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali, Nyoman Parta, Minggu (10/3/2019).
Langkah yang dilakukan saat ini, perlu dilakukan revisi Perda Desa Adat. Dalam tata cara pemilihan Bendasa Adat saat ini belum ada prosedur yang mengatur. Karena itu, Parta meminta, untuk mengurangi terjadinya konflik proses pemilihan harus berpegang teguh pada asas musyawarah dan mufakat.
“Saya meminta kepada masyarakat Bali dalam pemilihan Bendesa Adat secara musyawarah. Sebab sejak dahulu pemilihan ketua adat berdasarkan Awig-Awig (aturan tertulis di adat) dan perarem (aturan kesepakatan bersama pada warga adat setempat),” tandasnya.
Politikus asal Desa Guwang, Kabupaten Gianyar itu menyarankan, pemilihan bendesa adat tidak menggunakan sistem demokrasi barat, yakni voting. “Karena dalam tatanan adat di Bali telah memiliki konsep kearifan lokal, yakni segilik selulung sebayan taka (persatuan dan kebersamaan). Dengan konsep ini artinya, mengacu setiap permasalahan di desa adat diharapkan berdasarkan musyawarah untuk mufakat,” ujarnya. (Ant)