Gegendeh dan Nilai Luhur Karuhun yang Terjaga di Kranggan
Editor: Mahadeva

berlangsung, pada waktu tertentu,” papar Aki Maja.
Gegendeh atau lesung, dulu dipakai untuk menumbuk padi. Lesung menjadi alat komunikasi, jika ada orang yang mau melahirkan atau orang hamil meninggal. Gegendeh merupakan tradisi, yang dipercaya sebagai berkat selamat. Harapannya, dipercaya agar tidak berkelanjutan (Pituah). Makna dari gegendeh atau musik lesung, sebagai lambang komunikasi. Jika ada kejanggalan lain, seperti kejadian perampokan atau linu (gempa bumi), maka warga akan membunyikan lesung.
Lesung dulunya juga difungsikan, setelah seharian penuh menumbuk padi. Petani melahirkan karya seni menggunakan lesung. “Dulu di Kranggan, setiap rumah memiliki lesung,” ungkap tokoh masyarakat setempat, Sukat Jamin.
Berharap Kranggan menjadi destinasi wisata budaya di Kota Bekasi, Sukat Jamin, meminta dibangunkan museum. Keberadaanya untuk menyimpan peralatan masa lalu, sehingga situs sejarah dan berbagai macam kegiatan budaya dan sejarah akan terangkum menjadi satu. Selain tradisi, di Kranggan juga terdapat rumah yang ada sejak abad ke15. Rumah adat Kranggan, dibuat dari kayu nangka. Sampai saat ini, masih ada sekira tujuh rumah adat, yang masih tetap dijaga dan didiami oleh para sesepuh atau kokolot.
“Pemerintah Kota Bekasi juga telah menetapkan Rumah Adat Kranggan sebagai situs cagar budaya,” ujarnya Anim Imamuddin, tokoh masyarakat setempat lainnya.
Anim menyebut, wilayah Kranggan dulu adalah benteng pertahanan, sebelum Kerajaan Mataram hendak menyerang Belanda di Batavia. Kranggan masih menjaga dan melestasikan budaya leluhur. Berbagai kegiatan selalu dilaksanakan terutama seperti maulid, bulan Suro. Bulan kejepit babaretan, sebagai bentuk ungkapan rasa sukur kepada karuhun.