Warga Lamsel Manfaatkan Teri Sampah Untuk Pakan Ternak

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Keterbatasan pakan alami serta mahalnya pakan buatan pabrik untuk ternak, membuat warga mencari pakan alternatif, salah satunya teri sampah.
Edi Gunawan, warga Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, menyebut harga pakan unggas dan ikan mengalami kenaikan, sehingga pemberian pakan buatan pabrik mulai dikurangi, dan ia mulai berkreasi dengan pakan alternatif.
Salah satu pakan alternatif itu diperoleh dengan membeli teri sampah, sebutan untuk teri berkualitas buruk yang dibuang di lokasi produksi teri rebus.
Ikan teri sampah serta ikan asin sampah dibeli seharga Rp7.000 per kilogram, atau Rp350.000 per sak isi 50 kilogram. Teri sampah yang dibeli merupakan teri yang tidak layak untuk dikonsumsi manusia, karena proses pengeringan tidak sempurna.
Teri tersebut kerap berjamur dan hancur, sehingga dipisahkan dari teri kering yang berkualitas baik. Pemilik usaha pembuatan teri rebus memisahkan teri sampah untuk dijual kepada peternak, termasuk Edi Gunawan. Selain teri sampah, ikan busuk dari pasar ikan juga kerap dipesan Edi Gunawan sebagai campuran pakan.
Edi Gunawan, salah satu warga yang memanfaatkan ikan teri sampah untuk campuran pakan unggas -Foto: Henk Widi
Penggunaan teri dan ikan asin sampah diaplikasikan untuk campuran pakan ikan lele, ternak unggas serta campuran pakan kambing.
Menurutnya, ikan teri sampah harus diolah terlebih dahulu sebelum diberikan, dengan cara direbus. Meski tidak memiliki alat penggiling skala besar, sesudah ikan teri sampah direbus akan digiling menggunakan alat penghalus tepung kue. Setelah ikan teri hancur, selanjutnya dicampurkan bersama dedak padi, lemna minor serta keong mas yang sudah dihancurkan.
“Pakan tersebut bisa langsung diberikan, tetapi saya juga mengolah teri rebus untuk dihaluskan menjadi tepung ikan, lalu dijemur agar bisa disimpan lebih lama dan bisa dicampurkan dengan bahan pakan lain,” terang Edi Gunawan.
Harga pakan unggas, ikan lele berbentuk pur dan pelet disebutnya terus mengalami kenaikan sejak Agustus silam. Pakan unggas jenis pur mengalami kenaikan sebesar Rp2.000 per kilogram, atau naik Rp100.000 per sak dari semula Rp245.000 menjadi Rp345.000.
Kondisi yang sama terjadi pada pelet pakan ikan dengan kenaikan Rp1.000 per kilogram, atau Rp50.000 per sak dari semula Rp230.000 menjadi Rp280.000. Harga tersebut, bahkan bisa lebih mahal jika ia membeli pakan di toko secara eceran.
Memiliki ternak ayam petelur, bebek petelur, entok dan ayam kampung, membuatnya memilih membuat pakan secara mandiri. Pembuatan pakan secara mandiri dilakukan dengan membeli dedak per karung berisi sekitar 50 kilogram seharga Rp30.000. Lalu, dicampur dengan teri sampah yang sudah dibuat menjadi tepung.
Dengan cara itu, ia mengaku bisa menghemat hingga ratusan ribu. Solusi pemanfaatan pakan ternak dari teri sampah dicampurkan bahan lain, juga mempertimbangkan efisiensi biaya.
“Solusi lain bisa dilakukan dengan membuat pakan dalam jumlah banyak, lalu dikeringkan dan disimpan, tapi saya tidak memiliki alat penggilingannya, sehingga dibuat secara sederhana,” terang Edi Gunawan.
Pengaplikasian pakan buatan secara mandiri pada unggas, juga diberikan pada ikan lele. Ikan lele yang diberi pakan pelet pabrikan disebutnya memiliki pertumbuhan yang baik. Namun memperhitungkan biaya operasional yang tinggi, pemeliharaan ikan dengan kolam bulat disiasati dengan pakan buatan.
Pakan buatan dibentuk menjadi pelet, merupakan campuran dari dedak halus, tepung ikan teri sampah, lemna minor kering serta minyak ikan.
Pembuatan pakan alami diakuinya bisa lebih menghemat dan ikan yang dipelihara memiliki kualitas yang baik.
Pemanfaatan ikan teri dan ikan asin sampah bersumber dari tempat produksi ikan teri, sebagian berasal dari Bakauheni dan Kalianda.
Wiwin, salah satu buruh pemilah ikan teri di Muara Piluk, Bakauheni, menyebut pemesan ikan teri sampah sebagian merupakan pemilik ternak ikan dan unggas.
Ikan teri sampah kerap dipisahkan dalam wadah khusus memenuhi pesanan peternak. Per kilogram teri sampah sebagian tercampur dengan ikan asin dijual Rp7.000 per kilogram.
“Pemilik ternak biasanya sudah membayar teri sampah tersebut kepada pemilik usaha pembuatan teri rebus, jadi tinggal ambil dalam karung yang disediakan,” terang Wiwin.
Teri sampah tersebut sebagian merupakan teri yang rusak selama proses penjemuran dari jenis teri jengki, teri nasi, teri lemet dan teri katak.
Selain dari teri sampah, pedagang ikan di pasar ikan higienis PPI Kalianda bernama Yuli, mengaku ikan yang tidak terjual kerap dipesan oleh pemilik budi daya ikan dan ternak. Pembudidaya ikan lele, kerap memesan kotoran ikan laut hasil pembersihan ikan serta sejumlah ikan yang tidak terjual.
Yuli mengaku, kerap menjual ikan yang sudah busuk tersebut dengan sistem borongan, sebesar Rp50.000 per ember. Ikan busuk serta sisa pembersihan kotoran ikan, kerap direbus kembali oleh pemilik ternak dan pembudidaya ikan.
Setelah direbus, selanjutnya dihaluskan dengan mesin dan dicampurkan dengan bahan pakan jenis dedak sebagai tambahan pakan unggas dan ikan lele.
Harga pakan ikan yang mahal, kata Yuli, membuat harga ikan tawar jenis lele yang juga dijual di pasar ikan higienis naik, dari semula Rp20.000 menjadi Rp22.000 per kilogram.
Lihat juga...