Teater Bisa Jadi Tempat Pendidikan Anak-anak

Editor: Makmun Hidayat

“Kalau tidak boleh ikut lalu bagaimana Teater Adinda, jadi tidak pentas lagi dong,“ ujarnya.

Kemudian, tahun 1985, Anto masuk kuliah di Fakultas Hukum, mendapat pelajaran Hukum Perlindungan Anak jadi perlunya hukum perlindungan anak.

“Saya mempelajari tentang ilmu korban kejahatan, jadi anak pelaku kejahatan tapi sebetulnya yang menjadi korban, sebagaimana buku yang ditulis Arief Mursita, ada kasus seorang anak membunuh teman sebayanya akibat menonton sebuah film nasional,“ tuturnya.

Dalam sidang pengadilan anak, hakim ketuanya Bismar Siregar, yang juga dosennya Anto, memutuskan kalau anak itu tidak harus dipenjara, tapi diasuh oleh Ketua Badan Sensor Film (BSF). “Karena anak itu usianya masih di bawah 16 tahun,“ simpulnya.

Peristiwa itu mengacu pada hukum perlindungan anak, dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.

“Saya punya beban moril dan saya merasa harus berbuat sesuatu, yang kemudian menjadikan teater menjadi lab,“ tegasnya.

Anto menyampaikan pasti ada kesalahan, benar juga ada sebuah adegan film dimana seorang anak yang membunuh, yang hal itu jadi bentuk ketidakmengertian sutradaranya.

“Kalau adegan itu diulang-ulang tentu akan menjadi sesuatu yang wajar dan tentu akan berdampak negatif pada anak-anak, sehingga kemudian saya bersama teman-teman turut serta dalam mensosialisasikan tentang hukum perlindungan anak,“ pungkasnya.

Lihat juga...