Kendala tebing itu, Alip Sutamanggala harus berpikir keras lagi, kemudian dia meminta bantuan kepada senior PMPA Palawa Unpad di Bandung yang memiliki spesialisasi di panjat tebing sekaligus meminta membawa seperangkat alat panjat tebing. Melihat tingginya tebing sampai 300 meter, tali karnmantel statis dari Bandung hanya 150 meter hingga masih kurang 150 meter lagi.
Sehingga dirinya meminta bantuan dari rekan-rekan Mapala Rinjani Unram, Mapala FE Unram dan Komunitas Pendaki Gunung Republik Indonesia termasuk alat-alatnya. “Akhirnya berhasil terkumpulkan 300 meter tali sesuai kebutuhan,” sambungnya.
Ancaman Longsor
Pemasangan pipa di tebing enam titik, merupakan paling krusial dan menegangkan mengingat harus tetap memperhatikan kondisi cuaca karena jika angin besar mau tidak mau harus dihentikan dahulu karena berbahaya dalam pemasangan instalasi itu. Belum lagi dengan ancaman longsor.
Dia bersama timnya memutuskan pemasangan pipa itu menggunakan ilmu panjat tebing yakni “Single Rope Technique” (SRT) atau dikenal dengan lintasan satu tali ditambah satu set alat SRT. Dengan memasang tambatan di pepohonan di atas tebing hingga tali menjulur ke bawah. Kemudian satu persatu pemanjat turun ke bawah dan pipa yang sudah diikatkan di tali diturunkan ke bawah.
Pipa itu dipasang di ketinggian 150 meter yang berarti 150 di bawahnya jurang menganga dan siap menelan kalau salah seorang terjatuh. Memang diperlukan ekstra hati-hati mengingat bebatuannya jenis andesit berusia muda hingga rapuh yang membuat pijakan kaki harus diperhatikan.
“Sempat down juga melihat bebatuan yang rapuh, khawatir saja ada yang lepas,” katanya.