Kita Bisa Membicarakan Apa Saja

CERPEN YETTI A. KA

“AKU baru pertama kali melihatmu di sini,” kata penjaga kafe pada seorang pengunjung yang duduk di seberang meja bar.

“Ya,” jawab Disi, “Susah payah aku menemukan kafe yang buka pada pukul sembilan pagi.”

Penjaga kafe terkekeh, “Mau minum apa?”

“Apa saja asal bukan kopi.”

“Kau sedang berada di sebuah coffee shop,” jelas penjaga kafe.

“Aku tahu,” kata Disi, “Tapi aku belum ingin minum kopi saat ini.”

Penjaga kafe memberikan daftar menu. Disi menyusuri nama-nama minuman dengan ujung telunjuknya—dan ia melewati bagian “coffee/kopi” yang ditulis dengan huruf tebal.

“Padahal, kami punya kopi spesial,” kata penjaga kafe.

“Spesial?” tanya Disi.

“Kopi lokal sini,” kata penjaga kafe.

Disi tersenyum sekilas. Penjaga kafe paham pengunjungnya itu tak terlalu berminat ingin tahu tentang sebuah perkebunan kopi arabika milik para petani di daerah perbukitan, berjarak sekitar 75 km dari pusat kota ini.

Kalau saja pengunjung kafenya sedikit tertarik, ia bisa menjelaskan aktivitas petani di sana. Dimulai dari melakukan pembibitan kopi, pemeliharaan, hingga pengolahan menjadi biji di musim panen.

Teknik pengolahan dari buah matang menjadi biji kopi dapat memberikan cita rasa berbeda-beda. Salah satunya menghadirkan sensasi buah-buahan tropis dalam segelas kopi panas yang menjadi menu andalan kafe ini.

“Ini saja,” Disi menunjuk tulisan Choco Delight.

Sayang sekali, pikir penjaga kafe, tak berdaya sambil mengambil kembali daftar menu. Tak ada harapan sama sekali bahwa ia akan punya kesempatan menjelaskan perihal kopi, padahal ia sudah belajar sangat serius dan tak sabar ingin mempraktikkannya—terutama kepada pengunjung dengan rasa ingin tahu yang besar atau memiliki kecenderungan senang menguji orang lain. Pengunjung pertamanya hari ini sama sekali tidak memiliki keduanya.

Lihat juga...