Menjaga Silek Tradisi Minangkabau dari Ambang Kepunahan
Editor: Satmoko Budi Santoso
PADANG – Lahianyo silek mancari kawan, batinnyo silek mancari Tuhan (Lahir silat mencari teman, batin silat mencari Tuhan). Begitu filosofi yang berkembang bagi masyarakat di Minangkabau, Sumatera Barat, yang belajar tentang silat tradisi.
Bagi masyarakat di Minangkabau, belajar silat, tidak hanya semata berlatih fisik. Seperti filosofi yang terucap di awal kalimat, lahirnya silat itu mencari teman. Maknanya orang yang belajar dan pandai silat, memiliki hubungan silaturahmi sesama manusia dengan baik. Karena silat mengajarkan seseorang untuk rendah hati, tenang, bijaksana, dan sikap yang menghargai orang lain.
Begitu juga dengan filosofi batin silat mencari Tuhan. Dalam belajar silat tidak hanya tentang fisik dan sikap yang baik. Tapi harus diiringi dengan ibadah yang taat. Di Sumatera Barat sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam. Artinya yang belajar silat harus menjalankan ibadah, seperti salat lima waktu dan ibadah lainnya.

Sebab dalam tahapan belajar silat Minangkabau ini, ada istilah belajar silat di sasaran (lapangan tempat belajar silat) secara fisik, dan dan belajar silat yang harus didudukkan bersama guru atau tuo silek.
Di sini guru dengan murid akan berdiskusi tentang silat di balik gerakan yang telah dipelajari. Maknanya dalam sebutan batin silat mencari Tuhan ini, silaturahmi tidak hanya kepada sesama manusia, tapi silaturahmi kepada Tuhan juga harus dilakukan.
Di Sumatera Barat, hampir seluruh pelosok daerah memiliki perguruan silat tradisi, yang muridnya diutamakan merupakan sanak saudara terdekat dari sang guru. Hal ini bisa ditemukan bagi daerah yang belajar silatnya, masih bersembunyi. Namun, seiring waktu berjalan, silat pun dapat dipelajari oleh masyarakat umum, tanpa ada embel-embel saudara atau bukan.