Kayu-kayu yang gagah, menjulang telah digasak mesin. Tak ada hijau. Tak ada lagi tarian ilalang dan desiran angin. Tak ada juga aroma bunga, hanya menyisakan aroma busuk, bangkai binatang dikerubuti lalat.
***
Beberapa puluh tahun yang lalu…
Gadis itu, selalu duduk di batu tua tepian sungai, bibirnya berhias sekuntum senyum memandangi arus kecil yang tak bergelombang. Airnya tenang, tatap matanya begitu teduh, seperti mega-mega di langit yang menghalangi garangnya matahari. Mega-mega yang mengubah dirinya jadi hujan, menyejukkan.
Rambutnya hitam terurai, ia gemar menyelipkan bunga-bunga di helai rambutnya. Bunga bunga itu, tidak jatuh ke tanah. Terpaut bersama rambut-rambutnya. Menyatu. Dalam raga dalam jiwa!
Barangkali begitulah kebiasaan setiap gadis yang belum menikah diajarkan. Merawat dirinya. Tubuh dan jiwanya. Ia bersihkan hati dari kotoran dengan menjaga alam. Ia gunakan alam untuk menjaga tubuhnya. Air sungai yang jernih, yang dikirimkan mata air, ia gunakan untuk kehidupan. Membasuh tubuhnya.
Setiap gadis yang tinggal di rimba itu, akan mendatangi sungai kecil itu. Dengan ceria memandikan diri. Gadis itu akan pergi membelah semak belukar. Memetik bunga-bunga yang tumbuh di sana. Bunga berwarna merah muda, yang hidung siapa pun akan mengerti itu aroma yang khas, milik sebenar-benarnya alam.
Gadis itu akan menyisir rambut panjangnya yang basah dengan jemarinya sambil bernyanyi. Angin sore akan membuat rambutnya perlahan mengering. Di tatapnya bunga-bunga kecil yang seakan menggelendot di tanah itu. Ia berjongkok, memetik perlahan. Dan satu persatu bunga merah jambu itu diselipkannya di rambut.