Melankolia Bunga-bunga

CERPEN INUNG SETYAMI

Gadis-gadis yang dilihatnya kini berpakaian entah jenis apa. Ia tak bisa menamainya. Terlihat pahanya, terlihat pusarnya, terlihat belahan dadanya. Dan itu sengaja, mereka tampak lebih pemberani, mencegat dan menggoda laki laki, membawanya ke bilik kayu lalu menodong uangnya.

Bukan lagi gadis pemalu yagn selalu menundukkan mata. Ia menatap jalang dan suara lebih keras terdengar. Gadis itu tak lagi menyelipkan bunga-bunga merah muda di rambutnya. Ia tak memakai bunga-bunga, tetapi orang-orang selalu menyebutnya sebagai “bunga”.

Nenek itu, akan bercerita pada siapa pun yang ia jumpai. Seperti ini:

Jika kau menyeruak hutan rimba itu hanya hijau yang nyata di depan matamu. Hijau. Daun-daun dan ranting-ranting. Semak belukar. Alang-alang di tepian tak kalah menjadi penghias yang mengagumkan. Kau akan sesekali menghirup harum bunga. Yang entah apa, bukan mawar bukan melati. Bukan pula kamboja! Hidungmu akan salah menerka. Kau tak akan menemukan, apa yang kau tangkap dengan hidungmu.

Tapi itu dulu…

Semua orang mungkin tak akan percaya pada ceritanya. Semua akan mengabaikannya. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya gila. Nenek itu melanjutkan bicaranya:

Kini lubang hidungmu tak akan menemukan wewangian bunga-bunga yang menjadikan matamu ingin mencari-cari. Bunga apakah itu? Dimana bisa dipetik? Seperti apa rupa dan warnanya? Hidungmu akan menghirup debu debu. Barangkali juga abu yang diterbangkan angin. Membuat semakin sesak dadamu.

Memang, kenangan masa lalu yang diceritakan nenek itu sangat berbeda dengan kenyataan saat ini. Kini, gersang yang tersisa. Tanah kering, yang di atasnya bertabur daun-daun yang telah jadi abu. Ranting-ranting teronggok. Menyisakan luka-luka koreng tersulut api di ujung-ujungnya.

Lihat juga...