Lumbung Aksara dari Ibu Tien Soeharto Bernama Perpustakaan Nasional

Oleh Thowaf Zuharon

Selaras dengan semangat Verba Volant Scripta Manent, Ibu Tien merenung, bahwa masa sekarang adalah hasil dari masa lampau. Masa depan adalah hasil dari masa sekarang. Tentu saja ada hal-hal di masa lampau yang bukan saja tidak cocok dengan masa sekarang, malahan, sebagian harus kita tinggalkan sama sekali. Untuk mengetahui apa yang bisa kita pertahankan dan apa yang harus kita tinggalkan, manusia perlu mempelajari masa lampau. Segala hal yang baik, tentu bisa didapat dan dikaji dari dokumen-dokumen masa lampau.

Maka, berangkat dari kegelisahan atas pentingnya memelihara aksara dan buku, Ibu Tien bertekad, dokumen-dokumen itu harus tersimpan dengan baik dan terawat dengan teliti dalam Perpustakaan Nasional. Sekali dokumen itu hilang atau rusak, maka Bangsa Indonesia kehilangan sumber yang tidak ternilai harganya dan tidak pernah tergantikan buat selama-lamanya. Bagi Ibu Tien, harus ada gedung Perpustakaan Nasional yang memenuhi syarat dan mampu menampung kebutuhan ke masa depan yang jauh.

Ibu Tien pun melakukan persuasi kepada Pak Harto sebagai Presiden Indonesia. Ibu Tien kembali mendatangi Mastini, bersama Presiden Soeharto. Strategi Ibu Tien mengajak Pak Harto berkunjung ke Perpustakaan, akhirnya membuahkan hasil. Pak Harto merestui gagasan isterinya untuk membangun gedung Perpustakaan Nasional. Para pengurus YHK pun secara bulat mendukungnya. Namun, jalan untuk mewujudkan perpustakaan nasional tersebut, cukup terjal dan berliku. Karena berbagai hal, sejak disetujui oleh pengurus YHK pada tahun 1971, realisasinya baru dimulai pada tahun 1985. Selain soal ketersediaan dana yang cukup besar, juga karena Ibu Tien menginginkan, perpustakaan tersebut berada di tempat yang strategis, sementara lahan yang dibutuhkan tidak kurang dari 1 hektare.

Lihat juga...