Lumbung Aksara dari Ibu Tien Soeharto Bernama Perpustakaan Nasional

Oleh Thowaf Zuharon

Serial Tulisan Memperingati Setengah Abad Yayasan Harapan Kita yang akan diperingati pada 23 Agustus 2018

Sebuah peribahasa Latin kuno yang berbunyi verba volant scripta manent (Segala yang terkatakan akan segera lenyap, segala yang tertulis akan selalu abadi, Red), merupakan peribahasa yang sangat sesuai kita hadiahkan bagi kiprah luhur Ibu Fatimah Siti Hartinah Soeharto, pendiri Yayasan Harapan Kita.

Gagasan Ibu Tien Soeharto atas pentingnya dibangun Perpustakaan nasional, merupakan bukti kesadarannya tentang gerakan keberaksaraan, juga pentingnya peran buku dan minat baca dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas. Artinya, sosok Ibu Negara asal Solo ini memang memiliki perhatian besar dalam dunia pendidikan.

Thowaf Zuharon. Foto: Dokumentasi CDN

Bisa jadi, Ibu Tien Soeharto sangat paham, rangkaian aksara dan bahasa yang tertuang di dalam prasasti daun lontar, pahatan aksara di dinding-dinding goa, juga kisah-kisah yang dirautkan di berbagai kulit binatang atau papyrus di masa lalu, kakawin dan puja sastra yang ditorehkan dalam berbagai kitab jawa kuno, ternyata banyak mempengaruhi berbagai peristiwa maupun kebijakan sebuah negara.

Senyatanya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang ditorehkan oleh Empu Tantular di dalam Kitab Sutasoma, menjadi semboyan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada lambang Negara Indonesia Garuda Pancasila. Padahal, kitab Sutasoma ditulis pada abad ke-14, sedangkan Garuda Pancasila berikut semboyannya dirangkai pada 1950.

Ada jarak waktu lebih dari setengah abad, tapi pengaruh keluhuran nilai Sutasoma masih mampu mematri falsafah kenegaraan Bangsa Indonesia. Jika kitab Sutasoma itu lenyap karena perang dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak merasuk dalam jiwa pemimpin Indonesia saat itu, barangkali, arah kebijakan negara Indonesia tidak akan seperti sekarang.

Lihat juga...