Lumbung Aksara dari Ibu Tien Soeharto Bernama Perpustakaan Nasional
Oleh Thowaf Zuharon
Kita tidak bisa membayangkan juga, jika kitab Negarakertagama (naskah aslinya bernama Desa Warnana) yang memiliki arti Negara dengan tradisi (agama) yang suci, karangan Empu Prapanca, tidak diselamatkan oleh peneliti Belanda bernama J.L.A Brandes pada tahun tahun 1894 di istana Raja Lombok, naskah ini pasti lenyap dibakar bersama seluruh buku di perpustakaan kerajaan. Padahal, Negarakertagama merupakan naskah tunggal yang berhasil ditemukan dan selamat, setelah selesai ditulis pada tahun 1365.
Kesadaran atas pentingnya buku dalam membangun pondasi kecerdasan bagi peradaban Indonesia, sangat dirasakan oleh Ibu Tien Soeharto pada suatu hari dalam bulan Oktober 1968, ketika ia membaca berita di sebuah surat kabar mengenai diselenggarakannya pameran surat kabar langka di Perpustakaan Museum Pusat.
Sungguh kebetulan, nama penanggungjawab penyelenggaranya adalah Mastini Hardjoprakoso, yang tak lain adalah sahabatnya ketika masa remaja di Puri Mangkunegaran.
Saat itu, Mastini sebagai Kepala Perpustakaan Museum Pusat, berupaya mempromosikan pentingnya perpustakaan kepada masyarakat. Mastini bertujuan, dengan membuka pameran surat kabar yang usianya sudah ratusan tahun, bisa menambah minat masyarakat. Sehingga, Mastini menampilkan lebih dari seratus judul koran dari koran yang diterbitkan pada masa Gubernur Jenderal Daendels, Thomas Stamford Raffles, koran yang memuat Perang Diponegoro, hingga berdirinya Boedi Oetomo.
Ketika Ibu Tien Soeharto berkunjung ke Museum Pusat pada 8 Oktober 1968, Ibu Tien banyak mendapat penjelasan tentang keterbatasan dan permasalahan yang dihadapi lembaga tersebut. Ibu Tien juga menyaksikan ruangan besar nan lembab yang dipenuhi segala macam terbitan dan dokumen-dokumen lama. Ketika menyaksikan dokumen-dokumen yang sangat besar nilainya dan besar pula manfaatnya untuk pembangunan bangsa di masa depan, Ibu Tien mulai gelisah.