Karhutla Berulang, Sulit Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Ilustrasi - Karhutla - Dok. CDN

“Dalam NDC (Nationally Determined Contribution), kita secara tegas disebutkan di dalamnya bahwa kontribusi terbesar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ada di sektor lahan (LULUCF). Tetapi belum secara fokus memprogramkan lahan gambut untuk mencapai target penurunan emisi,” kata Daniel.

Padahal dalam luasan kecil lahan gambut, menurut peneliti CIFOR ini, jumlah karbonnya sangat besar. Sehingga jika memang ingin menembak target menurunkan emisi harus relevan dan juga efektif, antara lain dengan memilih mengelola lahan dengan kepadatan gambut yang tinggi.

Daniel membenarkan jika pemerintah harus lebih dulu fokus membenahi tata kelola level air di lahan gambut guna memastikan karhutla tidak lagi terjadi, sebelum akhirnya bergeser memberikan perhatian lebih besar ke sektor energi, transportasi dan industri dalam target menurunkan emisi GRK.

“Harus benar-benar diamati bersama. Masyarakat ikut juga menurunkan emisi, karena ini bukan hanya tugas pemerintah saja,” katanya.

Masyarakat yang Daniel maksud yakni dalam arti luas, yang berarti korporasi juga bertanggung jawab untuk membantu menurunkan emisi GRK sesuai yang telah menjadi kesepakatan dalam Paris Agreement.

Indonesia dalam dokumen kontribusi nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC) mencantumkan komitmen menurunkan emisi pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.

NDC Indonesia memperjelas bahwa angka 29 persen penurunan ini akan berasal dari beberapa sektor dengan proporsi dari lahan (17 persen), energi (11 persen), limbah, industri dan pertanian (lebih kecil dari satu persen). Sektor lahan dan energi memberi kontribusi lebih dari 80 persen total emisi nasional Indonesia. (Ant)

Lihat juga...