PALU – Majelis Ulama Indonesia (MUI), memandang dunia dakwah menghadapi tiga tantangan mendasar dalam upaya pembinaan mental dan karakter serta sumber daya manusia bidang keagamaan.
“Di satu sisi, kita mengalami liberalisasi, ketemu dengan Islamofobia, di sisi lain kita ketemu dengan kelompok-kelompok radikal,” ucap Ketua Komisi Dakwah, Muhammad Cholil Nafis, terkait halaqah, menjawab problematik dakwah yang digelar oleh MUI Sulawesi Tengah, di Palu, Minggu (5/8/2018).
Sebagian umat Islam, sebut dia, mengaku sebagai Islam, namun tidak berbuat apa-apa dengan Islam.
“Jadi Islam, Islam, Islam, tapi tidak berbuat apa-apa. Hanya membuat pengap di kuping, tapi dia juga tidak berbuat apa-apa untuk peningkatan umat Islam,” ujarnya.
Di sisi lain pula, sebutnya, orang yang movobia dengan Islam tidak mau menyebut Islam. Namun, ia mengatakan ada orang yang Islam, namun tidak berbuat untuk Islam.
“Segmentasi-segmentasi dakwah yang bermacam-macam inilah, kadang-kadang memberi citra Islam yang kurang baik,” lanjut Cholil.
Sebagian lagi, urai dia, Islam yang senang dengan yang aneh-aneh. Seperti menyenangi dan mengikuti seseorang yang mengaku sebagai ‘nabi’.
“Contohnya Lia Eden ada pengikutnya, Gafatar ada pengikutnya, sampai Kanjeng Dimas itu ada pengikutnya,” tambahnya.
Selanjutnya, ada sebagian orang yang karena salah pemahaman dan penafsiran disebabkan menyimpulkan sendiri, akhirnya menjadi ‘teroris’ dan ‘liberal’.
Lanjut dia, Islam tidak menghendaki gerakan dan sikap yang ekstrem. Islam menghendaki sesuai dengan Firman Allah surah Albaqarah ayat 143; “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Ant)