Sistem Zonasi Sekolah Bisa Hindari Praktik Korupsi

Editor: Mahadeva WS

Mendikbud Muhajir Efendi – Foto Tommy Abdullah

Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, kebijakan zonasi bukanlah sebuah kebijakan baru. Kebijakan tersebut diterbitkan untuk mengkoreksi kebijakan yang sudah menyimpang. “Setiap kebijakan pada masa tertentu memang perlu dikoreksi dan dilakukan upaya pelurusan kembali pada filosofi dasarnya. Karena kebijakan pasti akan mengalami penyimpangan yang itu bisa baru ketauan setelah sekian puluh tahun. Saat itulah kebijakan sebelumnya harus ditelaah kembali dan dibenahi,” jelasnya.

Menurutnya, penyimpangan yang terjadi terlihat dari beberapa gejala yang merupakan konsekuensi dari kebijakan sebelumnya. Diantaranya sepeti kastanisasi sekolah. Ada sekolah berkasta tinggi, dan ada yang paling bawah. Kemudian juga sekolah favoritisme.

Sekolah sebagai fasilitas yang disediakan negara, seharusnya bersifat non rivalisasi, tidak eksklusif, dan tidak diskriminatif.  Sementara jika hal tersebut sudah terjadi, harus segera diambil kebijakan yang merupakan upaya untuk mengembalikan pada arah sebagaimana harusnya.

Bertolak dari pertimbangan itulah, sistem zonasi diberlakukan. Kebijakan diambil untuk pemerataan akses pendidikan dan juga mendorong kreativitas pendidik dalam kelas heterogen.”Perlu diingat bahwa dalam sebuah kelas, populasi yang ada harus heterogen. Kalau homogen bukan kelas,” tuturnya.

Muhadjir menilai, melalui zonasi ada upaya mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik. Zonasi juga bertujuan menghindari sifat eksklusivitas dan diskriminasi di lingkungan pendidikan. “Sesuai amanat PP 66/2010, setiap sekolah negeri harus menampung minimum 20 persen anak tidak mampu,” katanya.

Lihat juga...