Ferry Junaedi, Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil (KMS). -Foto: M Hajoran
JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menolak UU No.2/2018 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terhadap UU hasil revisi tersebut, setidaknya sembilan permohonan uji materil telah diterima MK.
“Hal ini sebagai respon publik terhadap hasil revisi UU MD3, karena munculnya pasal kontroversi, misalnya Pasal 73 ayat (2), Pasal 245, Pasal 122 huruf (i) yang dari awal sudah cacat proses pembahasan, sehingga tidak mempunyai hukum mengikat,” kata Ferry Junaedi, di Gedung MK, Rabu (30/5/2018).
Lebih jauh, Ferry menyebutkan, perbedaan judicial review yang dilakukan oleh koalisi adalah tidak hanya pengujian secara materi saja. Namun, juga secara formil terhadap proses revisi UU MD3 yang tak sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Proses pembahasan Revisi UU MD3 cacat formil. Secara konstitusional, kewenangan pembentukkan UU berada di tangan Presiden dan DPR. Hal ini dikuatkan melalui Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Begitu pula proses dalam pembahasan dilakukan oleh Presiden bersama dengan DPR,” ungkapnya.
Namun, mengingat padatnya tugas dan kewenangan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara, sebut Ferry, maka dalam proses pembahasan suatu RUU, memungkinkan bagi Presiden menugaskan menteri untuk mewakilinya, sebagaimana bunyi pasal 49 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Pelimpahan tugas ini bentuk pemberian mandat dari Presiden kepada menteri, selaku pembantunya dengan prinsip tanggung gugat dan tanggung jawab tetap barada pada si pemberi mandat/presiden. Karena itu, dalam suatu pembahasan hingga proses “persetujuan bersama” yang dilakukan dalam revisi suatu RUU, menteri harus bertindak atas kesesuaian kehendak si pemberi mandat, yakni presiden,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini merupakan bentuk pertanggung jawaban yang melekat pada presiden selaku pemilik kewenangan dan juga tertib menteri sebagai pembantu presiden, yang memiliki batasan dalam melakukan arahan, petunjuk dan instruksi dari presiden.
“Namun, sikap yang ditunjukkan oleh Menteri Hukum dan Ham (Yasonna Laoly) dalam proses revisi UU MD3 dengan memberikan persetujuan tanpa didahului laporan persetujuan sikap dari presiden, jelas melampaui kapasitas dan kewenangan. Ketidaksesuaian sikap menteri dengan arahan presiden, terkonfirmasi dengan tidak ditandatanganinya UU MD3 hasil revisi,” sebutnya.
Sikap menteri ini, tambah Ferry, jelas penyelewenangan atas pelaksanaan mandat yang diberikan. Berdasarkan itu, jelas proses revisi UU MD3 ini tidak memenuhi ketentuan konstitusional dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi cacat formil, menjadikan UU hasil revisi ini tidak sah.
“Karenanya, koalisi masyarakat sipil melakukan uji formil dan materi terhadap UU No.2/2018 tentang MD3, agar MK dapat membuktikan dalam proses persidangan telah terjadi malformil dan adanya inkonstitusionalitas pasal-pasal yang termuat dalam UU a quo,” katanya.
Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil memohon pemberlakuan UU tersebut dibatalkan MK, dan jika petitum dikabulkan, maka UU No.2/2018 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka UU MD3 yang sebelumnya harus dihidupkan dan dinyatakan berlaku,” ujarnya.