Belajar Budaya Maluku di TMII
Editor: Satmoko
Di belakang Rumah Baileo, tepatnya di sebelah kiri terdapat patung proses pengolahan sagu. “Sagu ini adalah salah satu makanan tradisional Maluku,” kata pria kelahiran 52 tahun ini.
Dijelaskan lagi, bentuk asli Rumah Baileo di Anjungan Maluku ini adalah rumah panggung tanpa dinding dengan sembilan tiang di bagian muka dan belakang. Juga masing-masing tiang di bagian sisi kiri dan kanan.
“Filosofi Baileo tanpa dinding ini yakni agar roh nenek moyang dapat bebas keluar masuk rumah,” jelasnya.
Sedangkan rumah panggung yang tinggi, jelas dia, bermakna agar arwah atau roh nenek moyang tetap bersemayam di tempat yang tinggi, di atas para penduduk desa.
Di bawah palang atap terdapat hiasan bulan, bintang, dan matahari dengan warna merah, kuning dan hitam. Ini jelas dia, melambangkan kesiapsiagaan balai adat dalam menjaga keutuhan masyarakat berlandaskan norma-norma adat dengan hukum adat sebagai penguat.
Di Anjungan Maluku TMII, Rumah Baileo ini berfungsi sebagai tempat pentas seni budaya seperti tari dan lagu. Ragam tari yang dipentaskan di antaranya, tari bambu gila, tari perang kerpopo, tari nitnabar.
Rumah ini juga digunakan untuk pameran benda budaya Maluku. Di antaranya, kerajinan ukiran katu amdasar-tanimbar, kain tenun khas Maluku Tenggara Barat, terompet kerang, alat musik tifa (sejenis gendang) dan toto buang (gamelan), serta busana adat tradisional.
Tersaji juga busana pengantin Maluku Tengah (pono) dan celana makassara untuk pria. Adapun sanikin yaitu busana pengantin Maluku Tenggara. Baju cela yakni pakaian sehari-hari dan kebaya putih khas Maluku Tengah.
Dipamerkan juga senjata tradisional, seperti parang dan salawaktu yaitu perisai, tombak, panah, serta pandan dari pelepah sagu. Ditampilkan juga kerajinan khas dari cengkeh berupa perahu dan hiasan dinding dari kulit kerang laut maupun mutiara yang dibentuk menjadi burung kasuari. Dipamerkan pula kaligrafi Islam dan gambar Yesus berdoa di taman getsemani.