Antisipasi Radikalisme dalam Masyarakat Global
OLEH TJAHJONO WIDARMANTO
Masyarakat terbuka digagas kali pertama oleh Karl Raymund Popper, membayangkan sebuah pemerintah yang demokratis, menyediakan ruang seluas-luasnya bagi kebebasan partisipasif warganya, menyediakan ruang yang seimbang bagi setiap perbedaan, yang menjamin tidak adanya penindasan atas satu kelompok dengan kelompok lain, serta tidak adanya penindasan atas nama negara atau atas nama apa pun (kekuasaan, agama, mayoritas) terhadap kelompok atau individu lain.
Masyarakat terbuka memiliki keterpautan yang erat dengan globalisasi. Globalisasi membuka semua ranah informasi dan ruang publik secara ekstrem sehingga setiap masyarakat memiliki keluasan dalam menangkap setiap informasi. Globalisasi secara otomatis bahkan ekstrem membuka pintu masyarakat terbuka, yang tentu saja, seperti peristiwa sosial lainnya memiliki dampak positif dan dampak negatif.
Masyarakat terbuka yang diangankan Popper adalah masyarakat yang mengandalkan ruang publik. Ruang publik tersebut menjamin kemerdekaan setiap individu untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pemikiran dan daya kritisnya. Popper dalam bukunya The Open Society and its Enemies sangat menyakini kemampuan berpikir masyarakat.
Kebebasan berpendapat juga menyimpan resiko-resiko yang bisa jadi berakibat negatif. Hal ini disebabkan karena pendidikan yang gagal membentuk kesanggupan untuk merumuskan pendapat, gagal membangun nalar kritis dan gagal membangun kedewasaan perbedaan pendapat. Kebebasan pendapat juga tetap membutuhkan regulasi atau setidaknya etika yang mapan. Tanpa adanya regulasi dan etika, kebebasan bisa meneguk racunnya sendiri.
Kebebasan yang tidak terkendali akan memunculkan “pemaksaan-pemaksaan” wacana, apalagi media massa yang seharusnya berperan besar dalam mendorong terbentuknya ruang publik hanya terperangkap menjadi sekedar arena kepentingan partai politik atau kepentingan golongan.