Kasus e-KTP, Gerbang Tantangan Baru Pemulihan Aset

JAKARTA – Pemulihan aset tindak pidana (asset recovery) sebagai suatu kebijakan yang komprehensif dinilai belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah. Kasus mega korupsi e-KTP menjadi gerbang penting untuk melihat tantangan pemulihan aset ke depan.
Terkait pemulihan aset, sejauh ini berbagai upaya yang dilakukan masih bersifat kasuistis, sektoral, dan sporadis melalui tim-tim khusus penanganan kasus perburuan aset. Hasilnya belum berdampak pada efektivitas pengembalian aset hasil kejahatan.
Berdasarkan data temuan hasil kajian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kemitraaan melalui program SIGAP tentang pemulihan aset di Indonesia, terdapat tiga hambatan pemulihan aset. Yakni, paradigma penegakan hukum belum seragam, koordinasi antarlembaga belum kuat dan efektif, serta kapasitas sumber daya manusia.
Temuan LSM Kemitraan itu mengemuka dalam diskusi bertajuk Tantangan Efektivitas Upaya Pemulihan Aset Tindak Pidana di Indonesia di Jakarta, belum lama ini. Seragamnya paradigma penegakan hukum tergambarkan jelas dengan adanya ketidakharmonisan aturan hukum yang ada antara KUHAP dan UU TPPU, yaitu antara penemuan tersangka vs penemuan aset.
Dalam KUHAP tujuan penyelidikan adalah untuk menemukan tersangka, bukan aset perolehan hasil kejahatan. Sedangkan UU TPPU mempunyai tujuan utama untuk mengembalikan aset, dan bukan memenjarakan pelaku kejahatan.
Sementara sekaitan persebaran kewenangan penegakan hukum di beberapa institusi penegakan hukum di Indonesia menjadi penegas pentingnya koordinasi antara lembaga/institusi.
Hasil kajian yang dilakukan Kemitraaan menemukan bahwa salah satu penyebab lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum adalah kuatnya ego sektoral di masing-masing lembaga yang membuat masing-masing lembaga bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi efektif dengan lembaga lain.