YMPS Mengadu ke Komnas HAM, Menyingkap Tabir Pemutarbalikan Sejarah
Sulis menambahkan, kita harus melihat ini biar tidak ada yang mengaburkan sejarah. “Mereka (PKI) pelaku kok teriak korban. Kita mengungkap mereka itu pelaku, ini ada korbannya. Jadi, biar tidak hanya (mereka) teriak-teriak saja dan mengklaim seolah-olah dirinya korban 65,” tuturnya.
Jadi, kebenaran itu tidak bisa dibelok-belokkan. Sulistyowati pun membeberkan data-data yang menggambarkan tentang korban-korban kebiadaban PKI dari 48 hingga 68.
Ada sekitar 700 data yang sudah masuk dari korban yang melaporkan tentang adanya kebiadaban PKI. Itu cukup detail digambarkan di beberapa tempat, dengan cara bagaimana dibunuh, dikubur atau dibuang di sungai atau di sumur, bagaimanan disiksa, dan waktu kejadiannya.
Menurut Sulistyowati, hasil penelitian menunjukkan korban mayoritas umat Islam. Selain kiai, santri dan penduduk sipil, ada beberapa yang nonmuslim. Tidak hanya itu, korban juga ada dari TNI, Kepolisian.
“Ada beberapa segmen korban yang terjadi dari tahun 48, 65, bahkan hingga 68. Cukup detail data dari tahun-tahun tersebut,” imbuhnya.
Termasuk juga korban-korban dari Angkatan Darat pada tahun 65 juga menjadi perhatian dari Tim Advokasi, Sulistyowati memandang saat itu ada pembiaran.
“Kalau ada orang yang mengatakan bahwa terjadi pembiaran, lalu mereka (PKI) mengaku menjadi korban, pasti kami bantah. Di MUI pusat dan Komnas HAM, kami juga membawa saksi-saksi hidup atas kekejaman dan kebiadaban PKI,” ujarnya.
Lalu ketika kasus ini menjadi bergulir ke depan, apakah hanya akan dimaknai sebatas laporan biasa atau justeru menjadi sebuah perhatian serius?
Sulis berharap laporan tersebut menjadi perhatian Komnas HAM dan berharap MUI pusat iktu mengawal apa yang dilakukan Tim Advokasi terhadap Komnas HAM.