JAKARTA – Aliansi Nelayan Tradisional Sumatera Utara, mendukung penegakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 yang melarang penggunaan cantrang.
Siaran pers Aliansi Nelayan Tradisional Sumatera Utara yang diterima di Jakarta, Minggu (8/10/2017), menyatakan, pelarangan cantrang sudah final dan akan tetap ditolak keberadaannya di perairan Sumatera Utara.
Untuk itu, Aliansi mendukung penuh penegakkan hukum perikanan atas pelaksanaan regulasi tersebut, karena keberadaan cantrang atau trawl sudah ditentang nelayan tradisional. Beberapa dampak buruk yang tampak akibat penggunaan cantrang, antara lain penangkapan ikan berlebihan dan terjadi kerusakan dasar laut, serta menjadi konflik berkepanjangan yang menimbulkan kerugian sejak 1980-an hingga kini.
Sebelumnya, pengamat sektor perikanan, Abdul Halim, menyatakan perdebatan mengenai apakah cantrang itu alat tangkap ikan yang ramah lingkungan atau tidak sebaiknya dihentikan dan pemerintah fokus membagikan alat tangkap baru kepada nelayan.
“Mengingat tingginya konflik akibat penggunaan trawl atau variannya seperti cantrang di banyak wilayah pesisir, sebaiknya perdebatan terkait alat tangkap tersebut dihentikan dan lebih disegerakan peta solusinya,” kata Abdul Halim.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities itu, peta solusi yang perlu difokuskan adalah mulai dari penggantian alat tangkap, percepatan perizinan, dan penyediaan permodalan.
Apalagi, ujar dia, pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk merevitalisasi Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan dengan alokasi dana hingga sebesar Rp500 miliar.