Kemitraan, Kunci Usaha Pengolahan Kunyit Hatta Tembus Pasar Luar Provinsi

Sebagai usaha kecil rumahan yang minim modal Sonia mengaku, kelompok mengandalkan pinjaman dari kredit lunak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan khusus untuk modal usaha. Modal tersebut dipergunakan untuk membeli alat parutan, timbangan digital dan plastik serta bahan baku kunyit yang akan diolah dan hasilnya bisa dipergunakan untuk membayar angsuran dengan pinjaman Rp2 juta per orang dengan masa pengembalian 10 bulan.

Pengemasan bubuk kunyit selesai diayak. [Foto: Henk Widi]
Usaha pengolahan kunyit menjadi pilihan karena sebagai IRT dirinya bisa mengerjakan pengolahan kunyit sebagai usaha kecil rumahan saat pekerjaan rumah mengurus anak dan suami telah selesai. Pekerjaan tersebut bahkan diakui Sonia dan sebagian wanita anggota kelompok ikut membantu dalam penambahan ekonomi keluarga membantu suami.

Menghasilkan sekitar 100 bungkus bubuk kunyit per pekan dengan harga pada pengepul Rp9.000 ia menyebut bisa mengantongi omzet Rp900.000 bahkan bisa lebih tergantung jumlah bahan baku dan hasil pengemasan bubuk kunyit yang diolahnya. Ia dan wanita lain mengaku terkadang menjual bubuk kunyit dalam kemasan setelah mencapai rata-rata 500 bungkus dan dijual kepada pengepul yang ada di desa tersebut.

“Kita memang harus bermitra dengan pengepul dan juga konsumen untuk memasarkan produk bubuk kunyit agar usaha kita tetap berjalan dengan permintaaan terus mengalir,” ungkap Sonia.

Salah satu pengepul bubuk kunyit dan produsen bubuk kunyit di Desa Hatta diantaranya Andi Maraule (50) bersama suaminya Andi Muhamad Amin (56) yang sudah menjadi pengolah kunyit sejak tahun 2000 atau 17 tahun berjalan hingga sekarang. Sebagai pemilik usaha pengolahan kunyit bubuk kunyit pertama kalinya di desa tersebut, ia mengaku awalnya membeli bahan baku kunyit dari semula harga Rp500 per kilogram hingga kini mencapai Rp4 ribu pada petani.

Lihat juga...