SENIN 6 FEBRUARI 2017
DEPOK—Hingga saat ini belum semua daerah memiliki peraturan tentang pengarusutamaan gender (PUG). Pejabat di daerah kurang memahami dan berkomitmen mengenai PUG dan Perencanaan dan Pengangggaran yang Responsif Gender (PPRG). Demikian ungkap Ibeth Koesrini, pengamat kesetaraan gender dan demokrasi dari Indonesia Budget Center.
![]() |
Ibeth Koesrini. |
“Belum adanya kesetaraan gender di daerah-daerah, hal ini karena proses pendidikan adil gender belum menjadi komitmen pemerintah dari pusat hingga ke daerah “masih banyak ketimpangan gender di berbagai bidang,” ujar Ibeth ketika dihubungi Cendana News, Senin (6/2,2017).
Di tingkat daerah, terdapat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD. Melihat kenyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada upaya dari pemerintah untuk menyetarakan kedudukan perempuan dengan laki-laki, namun tetap banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam penerapan kesetaraan gender ini.
Bahkan bidang bidang yang vital pun perempuan tidak diberikan kemandirian. Misalnya pada bidang kesehatan , istri yang hamil harus ijin suami untuk periksa. Sementara pada pendidikan, perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akan berujung di dapur. Jadi jangan bicara untuk peran di ruang publik, sebab beban waktu perempuan habis untuk urusan domestik.
“Padahal beban domestik bisa dibagi antara laki-laki dan perempuan. Di bidang pekerjaan pun ada stigmatisasi “pekerjaan” perempuan cenderung di bidang administrasi dan keuangan. Sementara bidang strategis pengambilan keputusan tetap di tangan laki-laki. Ini kan fakta bahwa di daerah-daerah kaum perempuan masih satu derajat di bawah laki-laki,” ungkap alumnus Universitas Sriwijaya ini.
Lanjutnya hingga saat ini dasar hukum PPRG belum ada instrumen. Yang digunakan merupakan adaptasi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119 Tahun 2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Sementara Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kompetensi SDM pelaksana PPRG sebagian SKPD masih kurang memadai.
“Selain itu ada keterbatasan atau ketiadaan data terpilah (lekai-laki dan perempuan) menjadi kendala utama dalam analisis gender, karena belum menjadi mekanisme yang terintegrasi dalam pendataan,” imbuhnya lagi.