“Kasus ini terjadi kemungkinan karena persoalan kualitas instrukrur. Karena dalam pendidikan dasar itu, peserta memang dibuat sampai kondisi psikisnya berada di titik nol. Tujuannya agar dalam kondisi seperti apa pun, dia tetap bisa menguasai keadaan. Namun itu semua ada tahapannya. Ada tekniknya. Pertanyaannya, terkait kasus ini, apakah instruktur paham dan menguasai teknik itu,” ujarnya.
Menurut Wahyu, selain digembleng secara fisik, biasanya dalam pendidikan dasar peserta diturunkan kondisi psikisnya dengan cara-cara verbal atau ucapan. Namun tanpa ada kontak sentuhan secara langsung, terlebih sampai mengarah pada kekerasan.
“Menggembleng fisik itu beda dengan melakukan kekerasan. Karena aturannya memang tidak boleh ada kontak sentuhan secara langsung. Tapi kembali lagi, apakah instruktur paham,” ujarnya.
Dikatakan, bukan tidak mungkin upaya untuk menurunkan kondisi psikis yang semestinya dilakukan dengan teknik-teknik tertentu itu, dilakukan dengan cara yang tidak semestinya, sehingga justru kemungkinan bisa memunculkan rasa ingin balas dendam di setiap angkatan.
“Terlebih lagi kondisi lokasi pendidikan itu kan cuacanya seperti itu, lokasinya masih hutan. Dulu dipakai untuk latihan Kopassus. Walaupun sekarang sudah tidak digunakan lagi,” katanya.
Terkait keterlibatan instruktur dari pihak TNI, Wahyu mengakui, memang beberapa dilakukan. Namun itu hanya pada tingkatan pendidikan lanjut dan tidak dilakukan pada pendidikan dasar.
“Mengadopsi pendidikan militer memang bagus. Tapi, instruktur memang harus benar-benar paham teknik-teknik menjalankan pendidikan sehingga semua terkontrol,” ujarnya.
Jurnalis: Jatmika H Kusmargana / Editor: Satmoko / Foto: Jatmika H Kusmargana