YOGYAKARTA — Sebagai salah satu kekayaan dan warisan budaya bangsa, batik saat ini memang terus berkembang mengikuti perububahan zaman. Kreasi batik sebagai seni menggambar untuk menghias kain dengan motif tertentu semakin beragam dan tidak lagi didominasi kalangan kraton atau bangsawan saja. Berbagai lapisan masyarakat kini pun mulai ikut menggunakan sekaligus menciptalan pola atau motif batik baru sesuai budaya dan ciri khas masing-masing.
Di sebuah kampung kecil di sekitar bantaran sungai Gajahwong, Yogyakarta, tepatnya di kampung Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta, sejumlah ibu-ibu rumah tangga ikut menciptakan motif kain batik baru. Mereka menamainya dengan kain batik Jumputan motif Kipo Kepung. Tak seperti motif batik biasanya, batik Jumputan motif Kipo Kepung buatan ibu-ibu rumah tangga kampung Rejowinangun ini memikiki ciri khas tersendiri yang tidak ditemui di tempat lainnya.
Salah seorang pengrajin batik jumputan kampung Rejowinangun, Sri Rahayu warga RT 23 Kampung Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta mengatakan, proses pembuatan batik Jumputan sangat berbeda dengan biasanya. Jika umumnya dibuat dengan cara penggambaran motif pada kain yang menggunakan proses pemalaman, yaitu menggoreskan malam (lilin) yang ditempatkan pada wadah yang bernama canting dan cap.
“Kalau batik tulis itu kan proses pembuatan motif atau corak dilakukan dengan lilin atau malam. Namun untuk batik jumputan pembuatan motif atau corak dilakukan dengan menjahit dan mengikat kain. Jadi sama sekali tidak menggunakan malam,” ujarnya kepada Cendana News belum lama ini.
Ia menjelaskan, setelah semua peralatan dan bahan disiapkan, hal yang pertama kali harus dilakukan untuk membuat batik Jumputan adalah menggambar pola atau motif yang diinginkan. Ibu-ibu Kampung Rejowinangun sendiri memiliki motif khas yang diberi nama Kipo Kepung. Kipo merupakan makanan khas asal Kotagede. Lingkaran-lingkaran yang mengelilingi atau mengepung motif berbentuk bulatan serupa Kipo.
“Setelah semua pola selesai digambar, proses selanjutnya adalah ndlujur atau atau menjahit sekeliling pola untuk merintangi warna saat proses pewarnaan. Setelah itu pola yang telah dijahit tersebut kemudian ditarik dan ditali. Dalam bahasa Jawa sering disebut Njumput. Sehingga batik ini disebut batik Jumputan,” ujarnya.
Kain batik yang telah selesai melewati proses ndlujur dan njumput, kemudian dicelupkan pada cairan pewarna sesuai keinginan. Proses pewarnaan ini biasanya dilakukan tiga hingga empat kali untuk mendapatkan kombinasi corak warna yang beragam. Hasil pewarnaan dengan teknik jumputan ini adalah motif batik yang sangat berbeda dari batik biasanya. Ciri khas batik Jumputan adalah adanya gradasi-gradasi atau perpaduan sejumlah warna dalam pola-pola lingkaran yang unik dan menawan.
“Biasanya batik-batik yang dihasilkan ibu-ibu rumah tangga di sini akan dikumpulkan untuk djual di showroom milik bersama. Kita juga biasa menerima pembeli yakni tamu-tamu yang langsung datang ke kampung ini. Selain itu kita juga kerap menerima sejumlah pesanan dari luar daerah. Untuk promosi kita hanya sebatas dengan mengikuti pameran-pameran tingkat kota atau kabupaten saja. Untuk online masih belum,” ujarnya.
Jurnalis : Jatmika H Kusmargana / Editor : ME. Bijo Dirajo / Foto : Jatmika H Kusmargana