Buruh Migran Indonesia Unjukrasa Menuntut Perlindungan di Bunderan HI Jakarta

MINGGU, 18 DESEMBER 2016

JAKARTA — Sejumlah massa tergabung dalam Buruh Migran Indonesia (BMI) berunjukrasa di Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (18/12/2016). Aksi ini digelar guna memperingati momentum sejarah Hari Migran Internasional (Internasional Migrant Day 2016).
Unjukrasa BMI di Bunderan HI Jakarta.
Dalam orasinya, mereka mendesak pemerintah agar mencabut Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN). Pasalnya, UU tersebut membuat ppemerintah selama ini masih memandang pekerja buruh migran sebagai komoditas. UU No. 39/2004 Tentang PPTKILN lebih banyak mengatur administrasi penempatan dibandingkan dengan sistem perlindungan.
Koordinator Aksi, Iweng Karsiwen, mengatakan, berdasarkan lahirnya Konvensi PBB dalam rangka perlindungan hak buruh migran dan keluarganya, pada 18 Desember 1990, peringatan tersebut akan terus dilakukan buruh migran di Indonesia, sebagai bentuk pengakuan dunia internasional atas segala problem migrasi yang lahir akibat dari krisis berkepanjangan dalam tubuh imperialisme, hingga menyebabkan semakin meluasnya tanah dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan.
“Di Indonesia, hasil dari Konvensi PBB tersebut telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012. Tetapi, kondisi buruh migran Indonesia hingga saat ini justru terus mengalami kemerosotan yang semakin tajam,” ujar Iweng.
Selain itu, Buruh Migran Indonesia juga menuntut Pemerintah segera menindak-lanjuti berbagai persoalan, mulai dari upah rendah, pemerasan dan berbagai pungutan liar melalui agen tindak kekerasan menjadi korban perdagangan manusia yang menyelimuti kehidupan Buruh migran Indonesia.
Iweng menyatakan, buruh migran banyak yang menjadi korban kekerasan perdagangan manusia hingga pembunuhan akibat dari rentannya posisi buruh migran. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai remitansi keuangan yang dihasilkan dari buruh migran yang pada tahun 2015 saja mencapai Rp. 19 Triliun.
“Kondisi buruh migran di bawah Pemerintahan Jokowi-JK tidak menunjukkan perbaikan nasib, karena pemerintah tetap saja menjalankan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN,” bebernya.
Para massa aksi juga menyesalkan tindakan pemerintah yang tetap menggantungkan nasib buruh migran pada pihak swasta, melalui pelaksanaan penempatan TKI swasta. Hal ini, terkesan pemerintah melepaskan tanggung-jawabnya untuk memberikan perlindungan sejati bagi buruh migran itu sendiri. Alhasil banyak buruh migran yang menjadi korban akibat ulah pihak swasta.
“Ada 14 buruh migran Indonesia di Hongkong yang dikriminalisasi, dipenjara hingga dideportasi. Skema terstruktur yang dilakukan pemerintah telah menewaskan 170 migran tidak berdokumen akibat tenggelamnya 5 kapal selama 1 tahun. Data lebih mengerikan juga tercatat sepanjang tahun 2016 sudah terdapat 54 orang buruh migran asal Nusa Tenggara Timur yang dipulangkan dengan kondisi tak bernyawa,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjutnya, masih ada sebanyak 209 buruh migran yang terancam hukuman mati. Tidak hanya di luar negeri, buruh migran Indonesia juga terus diperas dan dirampas kesejahteraan melalui kebijakan dari Pemerintah Jokowi-JK yang minim berperan dalam proses perlindungan buruh migran.
“Buruknya birokrasi dan koordinasi antar lembaga negara terkait proses migrasi juga memperparah upaya perlindungan bagi buruh migran Indonesia,” kesalnya.
Atas dasar hal tersebut, Buruh Migran Indonesia (BMI) menuntut dicabutnya UU No. 39/2004 Tentang PPTKILN, dan menggantinya dengan Undang-undang Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya, sesuai dengan Konvensi PBB 1990 dan Konvensi ILO 188 dan 189.
BMI juga menuntut untuk menghentikan kekerasan, perdagangan manusia, perbudakan modern dan meminta perlindungan sejati bagi buruh migran Indonesia. Menuntut Pemerintah segera menghentikan kekerasan dan intimidasi, menyelamatkan buruh migran Indonesia dari hukuman mati, menghentikan pungutan liar berbagai skema terhadap rakyat, menghentikan privatisasi, komersialisasi dan liberalisme pendidikan serta menghentikan berlakunya PP Nomor 78 Tahun 2015, memberikan upah layak bagi buruh dan melaksanakan reformasi agraria dan bangun industri nasional.

Jurnalis : Adista Pattisahusiwa / Editor : Koko Triarko / Foto : Adista Pattisahusiwa

Lihat juga...