Ada Batas Indonesia Dengan Singapura

MINGGU, 18 DESEMBER 2016
Oleh: Gani Khair
CATATAN KHUSUS — Menjelang masa reses, anggota DPR-RI telah merampungkan Undang-undang Perbatasan Wilayah antara Indonesia dan Singapura pada tanggal 15 Desember 2016. Undang-undang ini merupakan penuntasan tugas wakil rakyat terhadap kedaulatan teritori kita dari Undang-undang yang telah disahkan melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1973 serta Undang-undang Nomor 4 Tahun 2010.
Gani Khair, Pemimpin Redaksi Cendana News.
Pada UU No. 7/1973, berisi pokok-pokok perjanjian, bahwa garis batas laut wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit, yaitu di selat yang lebarnya antara garis dasar kedua belah pihak kurang dari 15 mil laut. Sementara pada UU No.4/2010, menegaskan batas wilayah bagian barat antara Pulau Nipa di Indonesia dengan Tanjung Tuas di Singapura.
Adapun Undang-Undang yang baru saja disahkan DPR-RI beberapa hari yang lalu, adalah mengenai batas laut bagian timur Selat Singapura. Singapura sepakat untuk tidak menggunakan reklamasi pantai sebagai garis pangkal perbatasannya pada segmen timur Selat Singapura. Garis pangkal yang digunakan oleh Singapura ditarik dari daratan alamiah Singapura. Dengan kata lain, reklamasi pantai Singapura tidak merubah garis pangkal daratan Singapura dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan Indonesia. Segmen bagian Timur 1 (di wilayah Pulau Batam-Changi) dan segmen bagian  Timur  2  (di  wilayah  Pulau  Bintan-South  Ledge/MiddleRock/Pedra Branca).
Karena keterbatasan wilayah daratan Singapura, sejak tahun 1962 Singapura telah memulai reklamasi pantainya, hingga beberapa dekade selanjutnya penimbunan besar-besaran wilayah pantai Singapura menjadikan garis pangkal daratannya semakin melebar hingga ke selatan mendekati wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, penentuan garis pangkal daratan Singapura tetap mengacu pada keadaan garis pangkal pada tahun 1973, sesuai dengan implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS-United Nation Convention of the Law of the Sea 1982). Dalam UNCLOS 1982 disebutkan beberapa wilayah perairan yang dimiliki oleh suatu setiap wilayah negara pantai, termasuk Indonesia. Wilayah perairan tersebut meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eklusif (ZEE), Landas Kontinen (LK) dan Laut Lepas.
Selain berpegangan pada UNCLOS 1982, delimitasi batas laut wilayah Indonesia dengan negara tetangga juga berpegang pada prinsip-prinsip penarikan garis batas maritim yang berkembang dalam hukum internasional. Pada Bab II dalam UNCLOS 1982 Pasal 2 sampai Pasal 33 yang di dalamnya memuat definisi territorial sea, contiguous zone, berbagai jenis garis pangkal, syarat-syarat penutupan teluk dan muara sungai. Sehingga dampak reklamasi pantai yang dilakukan Negara Singapura secara masif seharusnya tidak berpengaruh terhadap penentuan batas wilayah kedua negara.
Hal yang lebih mengkhawatirkan bagi keutuhan kedaulatan NKRI yang dirumuskan sebagai konsep Wawasan Nusantara, yakni cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedaulatan bangsa Indonesia dalam konsep Wawasan Nusantara pertamakali dicetuskan oleh Presiden Soeharto pada peringatan Hari Bahari pada tanggal 23 September 1967. “Wawasan Nusantara adalah Integrasi yang bulat dan serasi daripada Wawasan Pertiwi, Wawasan Bahari dan Wawasan Dirgantara”. Konsep Negara Indonesia dalam bingkai Wawasan Nusantara tak terlepas dari tiga unsur kedaulatan wilayah daratan, wilayah laut dan udara. 
Berkaitan dengan cara pandang Wawasan Nusantara,  kedaulatan NKRI berada pada situasi kriti,s karena masih berlakunya ratifikasi Perjanjian Militer OFTAR (Overland Flying Training Area Range) dalam Defense Cooperation Agreement atau perjanjian kerjasama pertahanan dan keamanan antara Indonesia-Singapura. Pasalnya, dalam perjanjian tersebut angkatan bersenjata Singapura berhak menggunakan sebagian wilayah perbatasan untuk latihan militernya. MTA (Military Training Area) menyatakan, Singapura berhak menggunakan perairan Tanjung Pinang dan Laut Cina Selatan untuk keperluan militernya. Bahkan sebagian wilayah udara Indonesia tersebut diduduki FIR (Flight Information Region) Singapura, yang digunakan untuk pelayanan lalu lintas udara. Tindakan itu bertentangan dengan Pasal 6 UU No. 1/2009 Tentang Penerbangan:
“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung-jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.”
Perjanjian MTA yang diratifikasi oleh Indonesia dan Singapura pada 1995 masih tetap berlaku. Padahal, perjanjian ini hanya berlaku sampai 5 tahun saja. Hingga kini raungan pesawat komersil bahkan teriakan pesawat tempur Singapura dengan angkuh merongrong kedaulatan dirgantara kita. Lantas, sampai kapan batasnya?

Editor : Koko Triarko / Foto : CendanaNewsIstimewa

Lihat juga...