Kerajinan Kayu Lantung Bengkulu, Putaran Roda Ekonomi Kreatif

SENIN, 22 AGUSTUS 2016

JAKARTA, TMII — Berangkat dari kesulitan masyarakat Bengkulu mendapatkan pakaian saat pendudukan Jepang di Indonesia, maka mereka membuat pakaian dari bahan kulit kayu Lantung. Berawal dari keadaan itulah maka seiring bergantinya masa lahir sebuah kerajinan tangan berbahan kulit kayu Lantung di tengah-tengah rakyat Bengkulu hingga kini.
Kulit kayu yang dipergunakan diambil dari pohon bergetah (agar tidak mudah rusak) seperti pohon karet hutan. Setelah diambil dari pohonnya, kulit kayu tersebut ‘dilantung’ atau ditipiskan dengan cara dipukul-pukul. inilah asal mula mengapa disebut kerajinan kulit kayu Lantung. Setelah kulit kayu Lantung siap digunakan, atau dengan kata lain kadar ketipisannya sudah memenuhi syarat, maka dibentuklah menjadi baju sehari-hari oleh masyarakat Bengkulu sejak jaman pendudukan Jepang di Indonesia sampai era modern sebagai sebuah kerajinan tangan berupa cinderamata khas Bengkulu.
Robby Alman, putera daerah sekaligus Staff Promosi dan Informasi dari Divisi Seni Budaya dan Wisata kantor perwakilan provinsi Bengkulu di Jakarta menerangkan, kualitas kerajinan tangan khas Bengkulu berbahan kulit kayu Lantung sangat terjaga. Penduduk lokal sejak jaman dahulu kala sudah memahami harus diambil dari kulit kayu bergetah sehingga tidak mudah rusak.
Perkembangan seni kerajinan tangan kulit kayu Lantung terbilang pesat di Bengkulu serta mulai merambah ke daerah nusantara lainnya. Contohnya di Yogyakarta, ketika seorang asal Bengkulu membuka usaha penjualan aksesoris dan cinderamata berbahan kulit kayu Lantung maka para pengrajin sekaligus pengusaha kerajinan tangan lokal Yogyakarta tertarik sekaligus minta untuk diberi keterampilan untuk membuat kerajinan tangan serupa.
“Selain ke beberapa daerah di pulau jawa, kerajinan tangan kulit kayu Lantung khas Bengkulu juga bisa ditemui di Kalimantan dan tentunya provinsi-provinsi di pulau Sumatera,” terang Robby menambahkan.
Konsentrasi Pemprov Bengkulu saat ini adalah bagaimana kerajinan tangan kulit kayu Lantung bisa menembus pasar cinderamata internasional. Melalui Dekranasda sebuah Dewan Kesenian Bengkulu maka para pengrajin lokal kerap diberi pelatihan terlebih dahulu agar nantinya bentuk kerajinan tangan kulit kayu Lantung yang dihasilkan seperti topi, tas wanita, dompet pria/wanita, hiasan meja, pakaian dan lain sebagainya dapat lebih halus serta menarik di mata calon pembeli.
Setelah dibekali keterampilan tambahan untuk melengkapi keterampilan alami yang dimiliki pengrajin secara turun temurun, maka Pemprov Bengkulu melanjutkan dengan memberi bantuan berupa tambahan modal melalui UMKM berupa Kredit Usaha Kecil Menengah. Setelah Pemprov merasakan bahwa segala sesuatunya sudah dipenuhi kepada para pengrajin, barulah mereka dilepaskan untuk melakukan ekspansi pasar sesuai keinginannya masing-masing.
Selama Pekan Agustus 13-21 Agustus 2016 dalam acara satu minggu penuh bertajuk Festival Merah Putih ” Toedjoeh Poeloeh Satoe ” di Taman Mini Indonesia Indah, Anjungan provinsi Bengkulu tampil dengan kerajinan tangan khas kulit kayu Lantung, wastra Besurek dan batu akik.
Kerajinan kulit kayu Lantung mendapat apresiasi memuaskan dari pengunjung terutama wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke TMII dan singgah di Anjungan provinsi Bengkulu. Mereka sangat terkesan dengan hasil kerajinan tangan ini karena terbuat dari kulit kayu dengan proses pengerjaan yang sangat sulit. Bahkan baju serta rompi yang dibuat dari kulit kayu Lantung yang sedianya untuk pameran saja ludes terjual.
“Jika tahu akan seperti itu, maka dari awal kami buat saja sebanyak-banyaknya. Ini diluar ekspektasi kami, dan jujur kami bahagia dengan sambutan, animo, sekaligus partisipasi para wisatawan akan kerajinan tangan khas kami khususnya kerajinan kulit kayu Lantung,” kata Robby Alman.
Selain berusaha sendiri, Pemprov Bengkulu masih terus menunggu peran serta pemerintah pusat dalam mengangkat industri kerajinan tangan kulit kayu Lantung. Kebutuhan akan akses menembus pasar Internasional baik dari segi promosi maupun hal-hal lainnya memang sangat terasa jika tidak ada campur tangan pemerintah pusat. Namun kenyataannya selama ini Pemprov berikut elemen-elemen masyarakat Bengkulu baik di daerah maupun di Jakarta berjuang sendirian.
“Selama ini kami merasa layaknya anak tiri saja. Padahal nilai historis Bengkulu bagi nusantara cukup besar dan sejajar dengan provinsi lainnya, ditambah kreativitas kami juga sudah terbukti melalui Wastra Besurek yang sudah lebih dahulu mendunia,” keluh Robby.
“Akan tetapi jika menunggu uluran tangan maka kapan kami bisa berkembang. Opsi saat ini adalah kami harus bisa berjalan dulu dengan apa yang kami miliki sambil menunggu peran serta langsung dari pemerintah kepada kami,” pungkas Robby Alman.
Akhirnya, dari sebuah keadaan penderitaan rakyat Bengkulu saat pendudukan Jepang di nusantara, kerajinan kulit kayu Lantung perlahan menjelma menjadi sebuah hasil kerajinan lokal yang membawa berkah berupa rejeki bagi masyarakat lokal.
Begitulah siklus perkembangan industri kerajinan tangan kulit kayu Lantung khas Bengkulu yang terus berkembang serta menjadi salah satu roda ekonomi kreatif masyarakatnya secara mandiri justru disaat tidak ada perhatian menyeluruh dari Pemerintah pusat kepada mereka disana.
[Miechell Koagouw]
Lihat juga...