Jeritan Pengrajin Bata di Kecamatan Palas, Stok Melimpah Permintaan Sepi

JUMAT, 15 APRIL 2016
Jurnalis : Henk Widi / Editor : ME. Bijo Dirajo/ Sumber Foto: Henk Widi 

LAMPUNG — Puluhan pengrajin batu bata di wilayah Desa Tanjungsari Kecamatan Palas menjerit akibat berkurangnya permintaan. Stok yang sudah selesai dibakar oleh sebagian warga bahkan hingga setengah bulan terakhir belum kunjung mendapatkan konsumen. Puluhan ribu keping bahkan masih tersimpan di tobong atau gudang sambil menunggu pembeli.
Batu bata yang dijemur
Suyoto, salah satu pengrajin batu bata di Desa Tanjungsari mengaku sudah memiliki stok batu bata merah sebanyak 5 0ribu yang sudah dibakar namun baru sebagian yang dipesan oleh konsumen untuk bahan bangunan. Selain itu ia pun memiliki ribuan bata yang masih dalam tahap pengeringan dengan sistem manual.
“Saya sedang membakar batu bata sebanyak empat puluh ribu yang sebagian sudah dipesan untuk pembuatan perumahan di wilayah Kalianda dan sebagian belum laku dijual,”ujar Suyoto di tobong bata miliknya saat dikonfirmasi Cendana News, Jumat (15/4/2016).
Usaha kerajinan batu bata yang ditekuninya dimulai dengan harga Rp.25ribu perseribu keping batu bata hingga kini seharga Rp.220ribu perseribu batu bata. Pasang surut usaha yang ditekuninya tak menjadikannya putus asa meski saat ini harga bahan baku sudah harus membeli dari tempat lain dengan harga Rp.110ribu per satu bak kendaraan L300. Belum lagi untuk pembelian sarana pembakaran berupa kayu dan sekam menghabiskan Rp.700ribu.
“Modal untuk biaya operasional cukup tinggi mulai dari bahan baku hingga akan membakar menjadi kendala belum lagi faktor cuaca jika musim hujan pengeringan terhambat dan permintaan juga menurun,”ujarnya.
Permintaan batu bata saat ini diakui saat ini terbanyak di wilayah yang terimbas proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) dimana banyak warga yang pindah dari lahan yang tergusur tol dan membangun rumah di lahan yang baru. Batu bata dipesan sebagian oleh para pemborong bangunan serta para spekulan yang menurunkan harga jauh dari harga pasaran.
Para spekulan batu yang disebut agen bata, rata rata membeli batu bata dengan harga semurah mungkin untuk selanjutnya dijual kepada pembeli lain. Akibatnya harga batu merah di tingkat pengrajin anjlok dan menjadi dilema pahit yang harus diterima oleh para pengrajin batu tradisional.
“Dilema bagi kami karena jika kami tidak menjual batu bata dengan harga murah perputaran modal akan terhenti dan ini dimanfaatkan oleh para agen, tapi mau bagaimana lagi kami butuh uang untuk usaha kami,”ujarnya.
Salah satu pengrajin batu bata lain, Ponimin mengungkapkan, saat ini sedang menyusun batu bata mentah yang siap dibakar dan sudah siap dipesan oleh warga yang berniat membangun rumah. Proses pembuatan batu merah dari mulai mengolah tanah, pencetakan hingga batu bata siap dibakar diakuinya bisa memakan waktu sekitar dua bulan. Faktor cuaca saat ini masih jadi kendala bagi pengrajin batu bata yang mengandalkan kehidupannya dari usaha kerajinan batu bata.
Suyoto dan Ponimin merupakan pengrajin batu bata dari sekitar ratusan pengrajin yang masih menggunakan sistem manual dengan pengolahan tanah sistem adukan sementara beberapa pengrajin bermodal cukup menggunakan sistem sewa alat molen atau mesin pengolah tanah bahan baku.
Sugeng dan Warto yang memiliki alat molen mengaku menyewakan alat pengolah tanah untuk batu bata dengan sistem sewa harian. Selama satu hari alat molen disewakan sebesar Rp.100ribu sementara untuk bahan bakar minyak alat yang mengkonsumsi solar menjadi tanggungan pengrajin batu bata.
“Modal pembuatan batu bata sangat besar sehingga banyak yang beristirahat menunggu modal namun yang bermodal cukup tetap berjalan,”ujar Sugeng.
Ia mengaku lesunya pembelian batu bata berimbas pada penyewaan alat miliknya, sebab rata rata penyewaan alat dilakukan satu hari penuh. Tanah yang sudah diolah biasanya langsung ditutup plastik agar tidak kering dan harus segera dicetak dengan waktu yang terbatas.
“Harapan kami pembelian batu bata tetap lancar apalagi saat ini pembeli cukup sepi dan kami harus tetap beroperasi,”ujarnya.
Usaha kerajinan batu bata di Kecamatan Palas saat ini masih sebatas usaha mandiri dan pengrajin mengaku belum memiliki kelompok usaha kerajinan batu bata. Kendala permodalan masih menjadi persoalan pembuatan salah satu bahan baku bangunan. Selain itu sebagian besar warga pengrajin batu bata tidak memiliki lahan pertanian untuk usaha sampingan dan menjadikan usaha kerajinan batu bata sebagai mata pencaharian utama.
Lihat juga...