SABTU, 12 MARET 2016
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : ME. Bijo Dirajo / Sumber Foto: Miechell Koagouw
JAKARTA TMII — Terletak di barat daya Pulau Sulawesi, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, Teluk Bone di timur, dan Laut Flores di selatan serta Selat Makasar di barat. Provinsi ini terdiri dari 21 kabupaten dan 2 kotamadya, didiami oleh 4 suku yaitu Bugis, Makasar, Mandar dan Toraja.
Rumah Adat Toraja |
Suku Bugis, Makasar dan Mandar memiliki corak budaya yang hampir sama, sehingga sering disebut sebagai orang bugis-makasar saja. Mereka umumnya tinggal di daerah pesisir dan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Sebaliknya, suku Toraja yang tinggal di pedalaman memiliki kebudayaan yang sangat berbeda. Mereka sering disebut ‘suku purbakala’ karena memiliki warisan adat istiadat serta kebudayaan yang sangat tradisional.
Memasuki area Anjungan Sulawesi Selatan di Taman Mini Indonesia Indah, pengunjung dapat menyaksikan diorama perburuan rusa atau kijang dari bangsawan bugis-makasar tempo dulu. Seorang bangsawan Sulawesi Selatan ditemani dua orang pengawal dimana ketiganya menunggang kuda menggunakan kawanan anjing pemburu untuk mengejar rusa buruan mereka. Selain itu, pengunjung bisa menyaksikan sekaligus mengakses secara langsung Rumah Adat bangsawan bugis-makasar bernama ‘Saoraja’ atau ‘Balla lompo’.
Rumah besar dan memanjang dengan atap pintu masuk rendah ini merupakan duplikat Istana Sultan Hasanudin. Di kolong rumah adat, pengunjung bisa menyaksikan beragam hasil kerajinan tangan masyarakat pelaut bugis-makasar berikut pakaian adat tradisionalnya. Di sisi kanan bangunan ‘Saoraja’ terhampar luas bak permadani hijau tatanan rumput nan indah dengan Patung Sultan Hasanudin berdiri kokoh di ujung lapangan.
Salah satu favorit pengunjung Anjungan Sulawesi Selatan adalah pesona Tanah Toraja yang diwakili oleh Rumah Adat Toraja bernama ‘Tongkonan’ yang berdiri menghadap ke utara dan merupakan ciri khas bangsawan. Rumah panggung berbentuk perahu wangka (perahu bugis) ini berdiri kokoh tepat di samping replika ‘Liang’ (kuburan) batu. Kepercayaan suku toraja adalah kuburan atau ‘Liang’ adalah rumah bagi arwah orang yang sudah meninggal dunia.
Rumah Tongkonan memiliki ornamen tiga buah kepala kerbau yang merupakan simbol tingkat kebangsawanan pemilik rumah. Tanduk-tanduk kerbau yang berdiri mentereng didepan rumah adalah sebagai penanda sudah berapa orang anggota keluarga pemilik rumah yang meninggal dan diupacarakan secara adat. Ukiran-ukiran rumah adat Tongkonan hanya memiliki empat warna, yakni merah, putih, kuning, dan hitam.
“Suku toraja memiliki konsep kehidupan masyarakat yang menyatu dengan alam sekitarnya, oleh karena itu warna-warna yang digunakan untuk ukiran rumah biasanya diambil dari alam, misalnya hitam dari ‘arang’, kuning dari ‘kunyit’, merah dari ‘batu bata’, serta putih dari getah pohon atau kapur,” jelas Megawati T. Aruanlinggi, budayawan asli tanah toraja sekaligus pemandu wisata rumah adat toraja di anjungan Provinsi Sulawesi Selatan Taman Mini Indonesia Indah kepada Cendana News.
Masuk kedalam ruangan utama rumah adat maka pengunjung akan disuguhi beragam replika adat budaya menarik tanah toraja, salah satunya adalah terkait kematian manusia. Suku toraja merupakan suku di tanah air yang mengawetkan mayat manusia dengan cara tradisional yakni menggunakan sulfur dan daun sirih.
Mayat bisa bertahan selama bertahun-tahun hanya dengan menggunakan ramuan tradisional milik suku toraja. Kegunaan teknik pengawetan mayat manusia atau ‘mummi’ ini adalah untuk menunggu seluruh kerabat datang melihat mayat untuk terakhir kalinya.
Megawati pun menjelaskan selain menunggu keluarga menengok juga menunggu kesediaan atau terkumpulnya dana pemakaman secara adat yang bisa mencapai ratusan milyar rupiah.
” Tiga hari pertama maka mummi anggota keluarga di taruh dalam keadaan duduk didalam rumah, selanjutnya dipindahkan kedalam ruangan dengan dimasukkan ke dalam tempat bernama ‘tomakula’,” lanjut Megawati lagi.
Saat mayat keluarga bangsawan toraja siap dikuburkan, maka jika perempuan akan dimasukkan dalam keramba mayat asli toraja bernama ‘balun tomembali puang’.
Dalam kesempatan tersebut juga Megawati mencoba melakukan klarifikasi perihal anggapan yang beredar di masyarakat bahwa di tanah toraja mayat berjalan sendiri meniti tangga untuk masuk ke ‘liang’ batu (kuburan batu) khas tanah toraja. Yang benar adalah, jika ada anggota masyarakat suatu daerah yang meninggal lalu tidak bisa dikuburkan karena kuburan ditempati orang lain yang tidak berasal dari daerah tersebut barulah ‘dukun’ Toraja akan memantrai mayat yang didalam kubur tersebut agar berjalan pulang ke kampung halaman, bertemu dengan keluarga, untuk dikuburkan kembali. Dukun akan menyertai perjalanan mayat tersebut sampai ke rumah di kampung halamannya.
“Tetapi hal itu hanya untuk kebaikan, membuat mayat berjalan kembali kedaerah asalnya itu sebuah kearifan lokal masyarakat Toraja. Satu lagi kearifan lokal adalah, jika ada warga miskin yang sakit sampai tidak mampu berjalan, tidak punya biaya menyewa kendaraan angkutan, maka dukun toraja akan memantrai warga miskin yang sakit itu agar bisa berjalan sendiri (tanpa disadari orang tersebut) sampai ke rumah sakit walaupun ratusan kilo jaraknya,” papar Megawati lagi.
Di dalam rumah Tongkonan juga didapati beragam peralatan memasak tradisional khas tanah toraja seperti tungku dengan kayu bakar, para-para (tiang) penyangga berukir khas tanah toraja, dan simbol-simbol adat toraja yang memiliki artinya masing-masing. Dan salah satu keunikan lain Tanah Toraja adalah terkait empat mata angin. Sejak zaman dahulu kala, bahkan sejak zaman purbakala di tanah toraja sudah mengenal empat dewa mata angin yaitu dewa kehidupan di utara, kematian di selatan, kegembiraan di timur, serta kesedihan di barat. Utara merupakan simbol dari awal bola dunia di ujung utara, selatan merupakan simbol akhir dari bola dunia, timur merupakan terbitnya matahari, sedangkan barat adalah tempat terbenamnya matahari.
“Oleh karena itu, di tanah toraja upacara adat penghiburan bagi keluarga yang ditinggal mati seseorang hanya dari pagi hingga siang hari, tepatnya saat matahari diatas kepala, begitu matahari beranjak sedikit ke barat maka upacara adat diganti upacara kedukaan karena matahari terbenam di barat sampai hilang berganti gelapnya malam,” pungkas Megawati.
Turun dari rumah adat Toraja, pengunjung dapat mengabadikan dokumentasi menarik dari Sejumlah lumbung padi (alang) berukir yang berderet rapih di depan rumah adat Tongkonan yang juga merupakan ukuran status kekayaan dari sang pemilik rumah. Selain itu, dapat pula menyaksikan peragaan budaya di aula serba guna di tengah anjungan dimana pada sat-saat tertentu, kerap digunakan melangsungkan pertunjukan seperti upacara adat, dan lain-lain yang berhubungan dengan budaya serta pariwisata daerah provinsi sulawesi selatan. Sampai akhirnya berujung pada diorama patung ‘œlaki padada’, tokoh legendaris yang menurut sejarah merupakan keturunan raja-raja Sulawesi selatan yang digambarkan mengendarai seekor kerbau putih mengelilingi alam untuk mencari kedamaian, dapat dijadikan dokumentasi menarik oleh pengunjung.
Keluar dari Anjungan Sulawesi Selatan, maka pengunjung mendapatkan satu pelajaran berharga terutama dari Tanah Toraja, yakni menghargai setiap orang baik saat masih hidup maupun sudah meninggal. Saat masih hidup hendaknya memperlakukan sesama dengan sebaik-baiknya, dan saat ada seseorang maninggal maka tunjukkanlah penghormatan terakhir yang sedalam-dalamnya.