KAMIS, 24 MARET 2016
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : Fadhlan Armey / Sumber Foto: Miechell Koagouw
TMII JAKARTA — Jika lapar dan ingin santai menikmati kuliner khas nusantara, berbumbu rempah-rempah, harum dan mengunggah selera, maka salah satu solusinya adalah rumah makan Padang. Sajian nasi kapau yang khas dengan daging kerbau serta Sambal rendang, membuat kita berfikir bagaimana sebenarnya proses pembuatan masakan-masakan lezat nan luar biasa tersebut. Prosesnya yang cukup panjang, ternyata sama seperti sejarah panjang daerah asal rumah makan padang tersebut, yaitu Sumatera Barat dengan Kota Padang sebagai Ibukota Provinsi.
Replika Rumah Gadang di Anjungan Sumatera Barat TMII |
Etnis di Sumatera Barat sebagian besar adalah suku Minang dan Mentawai. Berawal dari era keemasan Kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Adityawarman di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit, maka dimulailah sejarah panjang Sumatera barat.
Asal-usul sebutan Minangkabau bagi Sumatera barat bermula disebuah daerah kecil bernama Sungayang-Tanah Datar. Kala itu sepeninggal Adityawarman, maka Kerajaan Majapahit diisukan akan membumihanguskan daerah tersebut. Akhirnya ditemukan cara mumpuni menghindari pertumpahan darah, yakni mengadakan adu kerbau antara kedua belah pihak. Takdir berbicara, kerbau (kabau) milik orang minang akhirnya keluar sebagai pemenangnya. Sejak saat itu disebutlah Tanah Sumatera barat dengan sebutan Minangkabau.
Pada tanggal 21 April 1985, Ibu Tien Soeharto sebagai Ibu Negara dari Presiden kedua Republik Indonesia HM Soeharto meresmikan penggunaan bangunan baru sebagai replika kebudayaan sekaligus perjalanan masyarakat Minangkabau di anjungan Sumatera barat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
” salah satu ciri khas masyarakat Minang adalah Rumah Gadang dengan Rangkiang (rumah loteng penyimpan hasil panen) berdiri gagah didepannya. Rangkiang itu sendiri merupakan wujud nyata kegembiraan masyarakat Pagaruyung untuk mengabadikan peristiwa adu kerbau. Hal ini dapat dilihat dari atap Rangkiang yang melengkung panjang kearah langit layaknya tanduk kerbau yang tajam nan gagah perkasa,” jelas Nilam, salah seorang pemandu wisata di anjungan Sumatera Barat, TMII kepada cendananews.
Di area anjungan Sumatera Barat dapat disaksikan keelokan replika rumah gadang nan megah berhiaskan atap yang juga melengkung tinggi ke langit. Rumah Gadang berfungsi sebagai rumah kediaman untuk Keluarga besar turun-temurun masyarakat Minangkabau dengan memiliki 9 (sembilan) ruangan. Disini juga tempat diadakannya acara adat dan pernikahan. Satu area dengan rumah Gadang, dapat pula disaksikan replika Balairung (ruang pertemuan besar) aslinya sebagai tempat dimana dilakukan permusyawaratan pengambilan keputusan secara adat, Surau (Mushalla) yang merupakan tempat shalat bagi masyarakat Minangkabau sekaligus mengajarkan Alqur’an kepada anak-anak mereka, serta tidak lupa Rangkiang (tempat menyimpan hasil panen) yang terdiri dari dua jenis, yakni Rangkiang empat kaki (Sitinjau Lauik) dan Rangkiang enam kaki (sibayau-bayau).
Replika rumah gadang anjungan Sumatera Barat, mengambil bentuk istana kerajaan Pagaruyung. Didalam rumah gadang sebagai bangunan utama ini para wisatawan baik lokal maupun mancanegara dapat melihat berbagai macam busana adat dari setiap kabupaten, diantaranya : Agam, Kepulauan Mentawai, Padang Pariaman, Solok, Tanah Datar, Bukittinggi, Padang Panjang, dan Kota Padang.
Selain itu, ada pula peralatan musik masyarakat Minangkabau, persenjataan tradisional dan peralatan tradisional sehari-hari masyarakat Minangkabau, singgasana kerajaan, replika pelaminan pengantin yaitu Pelaminan Lintau (Luhak Tanah Datar), Pelaminan Agam (Luhak Agam), serta Pelaminan Pariaman. Semua Pelaminan pada dasarnya memiliki fungsi yang sama namun yang membedakan hanya permainan warna yang digunakan dan berbagai ornamen hiasannya. Salah satu yang menarik adalah ‘Turong’ topi tradisional petani di Sumatera Barat.
Ragam replika alat pertukangan yang ada di anjungan sumatera barat. Alat yang utama adalah untuk memahat atau menghaluskan kayu, yang disebut dalam bahasa Minang dengan ‘Pahek Kayu’. Beberapa Pahek kayu diantaranya : Katam (penghalus kayu), Katam Duo Barih (dua sisi), dan Katam Sabarih (satu sisi). Kisah legenda batu malin kundang yang begitu akrab di telinga masyarakat nusantara lintas generasi juga dapat dibaca salinan artikelnya di dalam Anjungan Sumatera Barat.
Masuknya agama Islam sejak abad ke-14 berhasil merubah Kerajaan Pagaruyung menjadi Kesultanan Islam, hal itu banyak memberikan pengaruh serta perpaduan manis dengan adat istiadat masyarakat Minangkabau. Proses ini menambah keelokan khasanah budaya Sumatera barat menjadi perpaduan antara budaya Melayu, Minang, dan Islam. Namun sebuah perubahan biasanya akan menimbulkan pergesekan, dan sejarah mencatat meletusnya Perang Padri yaitu antara kaum Padri (ulama) dengan pemuka adat asli suku Minangkabau mengenai tata cara adat istiadat yang akan dipergunakan di daerah mereka. Tanpa disadari oleh semua pihak yang bertikai, keadaan ini dimanfaatkan Pemerintah Kolonial Belanda kala itu untuk memecah belah Sumatera barat demi kepentingan dengan cara melibatkan diri kedalam peperangan tersebut sehingga membuat permasalahan semakin kompleks.
” akan tetapi jika tidak ada perang padri dan tidak ada campur tangan kolonialisme Belanda maka Bangsa Indonesia tidak akan memiliki seorang tokoh Pahlawan Nasional termasyur bernama Tuanku Imam Bonjol yang akhirnya mempersatukan kaum padri beserta kaum pemuka adat minangkabau kala itu untuk melawan Belanda dengan melahirkan sebuah kalimat perjuangan, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, ” demikian lanjut Nilam ketika cendananews mencoba berbicara perihal Perang Padri.
Replika Rumah Adat Suku Mentawai Uma Pulau Siberut Kepulauan Mentawai di Anjungan Sumatera Barat TMII |
Area Anjungan Sumatera Barat turut menyuguhkan replika Rumah Adat Mentawai ‘Uma’ yang diresmikan pada tanggal 20 Mei 2007 oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat kala itu Prof.DR.H.Marlis Rahman, M.Sc. Rumah suku asli mentawai Uma ini mengambil model rumah adat mentawai pulau siberut yakni sebuah rumah panggung yang ramping memanjang kebelakang. Pintu belakangnya memiliki titian sepanjang kurang lebih 2 Meter sebelum turun meniti anak tangga. Suku Mentawai di Sumatera barat terkenal dengan kebudayaan eksotis bernama Seni Merajah Tubuh yang merupakan salah satu seni tatto tertua di dunia.
Suku Mentawai juga dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang mengandalkan perahu sebagai alat transportasi tradisional hingga saat ini. Perahu tradisional suku Mentawai tersebut bernama ‘Abak’. Di dalam rumah adat mentawai Uma terdapat ragam replika serta benda-benda asli milik suku mentawai yang masih mereka pergunakan hingga sekarang.
Untuk mengabadikan hasil kunjungan ke anjungan Sumatera barat, maka para wisatawan dapat menggunakan jasa foto di Ruang Replika Balairung dengan menggunakan berbagai busana adat tradisional khas Sumatera barat, sampai berfoto dengan latar belakang miniatur rumah gadang.
?Replika topi tradisional petani bernama ‘Turong’ di Anjungan Sumatera Barat TMII |
“Jangan sampai melewatkan atraksi Tari Piring di hari-hari tertentu saat berkunjung ke anjungan Sumatera barat TMII,” demikian Nilam mengakhiri kebersamaannya dengan cendananews di anjungan Sumatera Barat TMII.