Agus Salim Si Petani Tebu: Mengajarkan Anak Hidup Sederhana, Pendidikan Adalah Segalanya

CENDANANEWS (Agam/Sumbar) – Mak Guih selalu membawa putra dan putrinya untuk turut serta dalam mengolah tebu menjadi gula merah. Saat cendananews mengikuti proses pembuatan gula merah secara tradisional itu, hanya dua putranya yang ikut serta. Dua putri dan satu putranya tengah menempuh ujian akhir semester di Universitas di ibukota provinsi. baca juga : Agus Salim Si Petani Tebu: Sekolahkan Anak Dengan Mengolah Tebu Jadi Gula Merah
“Mereka segaja saya bawa, agar juga mengetahui bagaimana susahnya mencari penghidupan. Namun tidak memaksanya, hanya saat hari libur dan pulang sekolah saja,” ujar Mak Guih.
Riki Gustiawan, anak keempatnya yang berada di bagian perebusan air tebu menjadi gula merah menuturkan. Butuh waktu empat hingga lima jam untuk memisahkan air dengan sari pati tebu yang disebut dengan “tangguli”. Dengan sabar selama empat jam lebih ia menunggui tungku dan memastikan apinya tetap besar namun tidak membuat tumpah air tebu yang direbus tersebut.
“Kami memakai Songkok atau penutup yang terbuat dari anyaman bambu, agar air yang mendidih itu tidak tumpah keluar. Kalau apinya memang harus besar terus,” ujar Riki sembari memasukkan kayu bakar kedalam tungku.
Semua anak Mak Guih telah ia ajak untuk menemaninya dan turut bekerja dalam mengolah gula merah. Dian contohnya, anak  pertamanya ini telah wisuda akhir tahun lalu dan sekarang bekerja di salah satu lembaga kursus ternama di Sumatera Barat (Sumbar). Ia bersama ibunya selalu menyiapkan bekal bagi ayah dan adik-adiknya yang berangkat mangilang.
Jika waktu senggang ia bahkan turut masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar. Untuk mencari kayu bakar sendiri butuh 2 hari pengumpulan kayu bakar. Dari tujuh hari dalam seminggu, dua hari untuk mengumpulkan kayu bakar dan 5 hari lainnya untuk mengolah air tebu.
“Ayah adalah, orang yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Baginya, pendidikan harus nomor satu. Kalau untuk materi dan uang, itu hanya nomor kesekian. Ayah selalu mewanti-wanti untuk hidup sederhana, karena berkecukupan tanpa pendidikan kita akan jadi bebal dan sombong,” ujar Dian.
Setelah air tebu direbus selama empat jam lebih. Air tebu yang awalnya memenuhi kancah (kuali besar)  itu menyusut menjadi seperempat kancah saja. Dalam sehari, Riki mampu memasak dua kancah air tebu jika dalam waktu libur seperti Sabtu dan Minggu. Jika ia sekolah, ia hanya mampu memasak satu kancah saja.
“Hari-hari biasa, sepulang sekolah memasaknya, kalau hari libur bisa dua kali,” ujar Riki sembari memindahkan air tebu yang telah menjadi tangguli dan memasukkan air tebu yang baru.
Panas ruangan ditempat memasak air tebu tersebut, cukup panas. Dari indikator termometer yang dimiliki cendananews saat berada di ruangan tersebut, panasnya mencapai 35 derjat celcius. Riki, menyatakan dengan semakin rajin ia membantu apa-nya mengolah tebu menjadi gula merah. Ia tidak malu, malah makin paham, bahwa kehidupan bukan soal yang instan. Tapi butuh proses dan kesabaran.
“Semuanya butuh proses, harus bersabar dalam memasak air tebunya. Jika terlalu panas, airnya bisa melumpah dan songkoknya bisa lepas. Begitu jua hidup, perlu kesabaran,” ujarnya sembari memasukkan kayu bakar kedalam tungkunya.
Bersambung

——————————————————-
SELASA, 07 Juli 2015
Jurnalis       : Muslim Abdul Rahmad
Fotografer : Muslim Abdul Rahmad
Editor         : ME. Bijo Dirajo
——————————————————-
Lihat juga...