Pelajaran dari Myanmar, Pelajaran untuk Generasi Indonesia


CENDANANEWS (Mengenal HM.Soeharto) — Boleh saja Jenderal Ne Win, Pemimpin Negara Burma yang kini dikenal dengan Myanmar pernah mengatakan Indonesia adalah saudara tua Negara-nya terlebih karena Indonesia pada saat itu menerapkan sistem Dwi Fungsi ABRI. Selain itu Jenderal Ne Win terbilang cukup intens menjalin hubungan bilateral dengan pemerintahan Indonesia dimasa kepemimpinan Presiden Soeharto. Setidaknya tercatat tahun 1973 kunjungan Jenderal Ne Win ke Indonesia diikuti dengan kunjungan balasan Presiden Soeharto setahun berikutnya ke Rangoon. Belum lagi hubungan bilateral yang terjalin secara ekonomi dan politik internasional.
Sistem politik yang diterapkan dalam pemerintahan Orde Baru dengan melibatkan militer/ABRI dalam parlemen dan pemerintahan dikenal dengan istilah “dwi fungsi ABRI” yakni fungsi Pertahanan sekaligus Politik. Dwi fungsi ABRI merupakan kolaborasi sistem politik tanpa men-dikotomikan sipil-militer, sehingga memiliki peran yang sederajat dalam pemerintahan disamping ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara. Perbedaannya kontras dengan negara militeristik sebagaimana yang dianut pemerintahan Myanmar pada masa Jenderal Ne Win, kekuatan politik sipil Burma yang dicerminkan oleh organisasi politik justeru diharamkan. 
Di Indonesia sendiri keterlibatan militer dalam politik merupakan konsekuensi dari sejarah sebagai bangsa bekas jajahan kolonial. Ketika Jenderal Besar Soedirman memilih untuk bergerilya di hutan daripada berunding dengan Belanda adalah salah satu contoh sikap politik seorang tentara demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsanya. 
Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, kembalinya penjajah Belanda melalui agresi militer I dan II, banyak birokrat-birokrat sipil meninggalkan tugasnya sebagai pelayan dan pemimpin masyarakat karena takut oleh intimidasi Belanda/Sekutu. Disinilah peran anggota korps militer eks KNIL dan PETA mengemban tugas memimpin sekaligus mengamankan wilayahnya.
Sedikit berbeda dengan Myanmar, ketika kolonisasi Inggris digantikan oleh Jepang yang selanjutnya mencapai kemerdekaan pada tahun 1948, Myanmar sebagai Negara baru yang minim pengalaman politik dan militer membuat negaranya dipenuhi dengan berbagai konflik. Konflik politik dan rasial Myanmar merupakan ekses dari kolonisasi Inggris didaratan India/Asia Tengah dengan masuknya secara massif imigran Rohingnya yang datang dari Bangladesh. Walaupun menurut Francis Buchanan, peneliti Scotlandia yang hidup pada abad XIX, Rohingnya merupakan bagian dari suku wilayah Arakan (Rakhine) yang ditaklukkan oleh Raja Boda Kerajaan Burma.
Jenderal Ne Win yang merupakan salah seorang mantan tentara didikan Jepang paska koloni Inggris, melakukan kudeta militer terhadap pemerintahan U Nu pada tahun 1962, lalu mengusir suku bukan asli Burma dengan menghapus konstitusi pemerintahan sebelumnya tentang UU kewarganegaraan. UU Warga Negara yang dikeluarkan tahun 1982 oleh Jenderal Ne Win praktis membuat 800.000 warga Rohingnya dan ribuan etnis Cina lainnya sebagai penduduk tanpa warga negara. Ditambah lagi Jenderal Ne Win membuat aturan partai politik tunggal di Myanmar yakni, Partai Program Sosialis Burma (BSPP-Burma Socialist Programme Party) yang diketuai olehnya sendiri.
Konflik politik dan etnis masih memporakporandakan Myanmar hingga saat ini, alih-alih pengunduran diri Jenderal Ne Win pada tahun 1988, oleh aksi demostrasi kelompok pro-demokrasi, para suksessor Ne Win bahkan kelompok oposisi tak mampu menstabilkan keadaan Myanmar.
Kontras, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, organisasi politik yang menjadi peserta pemilu merupakan representasi masyarakat Indonesia seluruhnya. Negara yang memiliki luas lebih dari 5 juta kilometer persegi, dengan sebaran lebih dari 17.000 pulau diseluruh nusantara, serta lebih dari seribu suku bangsa dengan hampir 750 bahasa, serta lebih dari 200 juta penduduk yang hampir 90%-nya beragama Islam dan sisanya agama-agama yang berbeda. Berhasilnya konsensus Nasional yang dirumuskan para pendiri bangsa akar dari filosofis kepribadian bangsa sendiri, dalam menjalankan dasar negara Pancasila sebagai ideologi negara dan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional segala perbedaan mampu direkatkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kekuasaan Presiden Soeharto yang sebenarnya memiliki pengaruh yang tak kecil pada masa pemerintahannya, tidak serta merta menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa Nasional, ataupun mengeliminir kekuatan politik agama minoritas dalam parlemen maupun pemerintahan Orde Baru.
Menyatukan seluruh komponen bangsa ini tentu saja telah melewati jalan berliku dan ujian yang berat. Konsep Nasionalis, Agama dan Komunis yang diperjuangkan Bung Karno nyaris membawa bangsa ini ke jurang kehancuran.  Percobaan kudeta dan pembantaian enam perwira Angkatan Darat tahun 1965 oleh Partai Komunis Indonesia menjadi akhir Demokrasi Terpimpin dan konsep NASAKOM-nya Bung Karno.
Estafet kepemimpinan yang di mandatkan kepada Jenderal Soeharto terjadi ditengah suasana dunia menghadapi dua kekuatan besar negara adikuasa perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Membuat sikap politik luar negeri bebas aktif dengan tanpa memihak blok manapun, sekaligus menciptakan kestabilan dalam negeri dengan melarang dan mengadili kelompok-kelompok yang terlibat dengan organisasi PKI. 
Tanpa legitimasi seluruh rakyat Indonesia dengan beraneka ragam perbedaannya, tentu kepemimpinan Presiden Soeharto tidak akan langgeng hingga 32 tahun berkuasa. Legitimasi rakyat bukanlah hal yang dapat diberikan begitu saja, laju pertumbuhan ekonomi masa Orde Baru yang diikuti dengan pemerataan desa dan kota menjadikan Indonesia negara agraris sekaligus negara industri sehingga menjadi model bagi negara-negara dunia ketiga dalam membangun negaranya.
Keteguhan Presiden Soeharto menolak pengaruh negara-negara adikuasa untuk mengintervensi kebijakan dalam negeri berhasil menjadikan Indonesia menjalankan ideologi Pancasila baik secara politik maupun ekonomi. Bahkan peran Presiden Soeharto sangat signifikan mengamankan kawasan Asia Tenggara khususnya ASEAN dari intervensi kekuatan luar kawasan dengan menerapkan politik bebas aktif.
Peran Indonesia masa Presiden Soeharto cukup besar dalam menyelesaikan konflik Vietnam-Kamboja pada perang Indocina III yang berhasil melepaskan pengaruh tiga negara besar (Uni Soviet memihak Vietnam, RRC dan AS memihak Kamboja), membantu menyelesaikan konflik Sabah (Malaysia-Filipina), bersama negara-negara ASEAN menolak pangkalan militer AS di Filipina, membantu menyelesaikan konflik Filipina dengan Tentara Pembebasan Moro, mensponsori Myanmar bergabung dengan ASEAN pada tahun 1997 sebagai penyeimbang kekuatan AS dan Inggris yang mensupport oposisi NLD yang dipimpin Aung San Su Kyi, hingga memimpin negara-negara Selatan dalam dialog Utara-Selatan.
Pengaruh Presiden Soeharto sebagai pemimpin negara-negara sekawasan sekaligus negara-negara ketiga tak dapat dibantah. Keberhasilan negara-negara ASEAN menghalau kekuatan komunis dari masing-masing negaranya tak terlepas dari pengaruh Presiden Soeharto. Seperti pada awal kemerdekaan Malaysia, Indonesia berperan aktif melakukan kerjasama keamanan dalam menghalau pemberontakan komunis Sarawak. Begitu juga dengan kekuatan komunis yang ada di Singapura, Philipina, bahkan Myanmar. Reputasi ini menjadikan Indonesia sebagai penangkal Blok Timur Komunis di Asia Tenggara, seperti yang disampaikan Peter Woolcott mantan Dubes Australia dalam tulisannya “Suharto: As I Knew Him”. Woolcott secara implisit menyetujui integrasi Timor Timur ke wilayah NKRI sebagai upaya stabilitas kawasan Asia Tenggara termasuk Australia dari pengaruh Blok Timur Komunis. Sehingga ketika Presiden ad interim Habibie melepas Timor Timur mengundang kecaman PM Lee Kuan Yew dan PM Mahatir.
Ironisnya sebesar apapun pengaruh dan hasil kerja mantan pemimpin Orde Baru itu hanya menyisakan catatan kelam hasil propaganda jualan isu HAM dan Demokrasi oleh negara-negara Barat. Kini generasi bangsa yang sedang menikmati kenyaman dan ketentraman negeri Nusantara begitu mudah memaki dan menghakimi Pemimpin Besar yang pernah disegani dunia. Tak heran dagangan Kolonial Belanda dengan “de vide et impera” tersebut mampu menjajah bangsa besar ini hingga 350 tahun. Waktu yang cukup untuk menciptakan generasi inlander yang konsumtif tak sekedar untuk pasar gadget android dan beras palsu namun juga hegemoni Kolonialisme dan Liberalisme Barat.
——————————————————————
Selasa, 26 Mei 2015
Penulis : Gani Khair
Foto : Dokumen Resmi HM.Soeharto
Editor : Sari Puspita Ayu
——————————————————————
Lihat juga...