Tambang Emas Romang, Jangan Korbankan Rakyat Karena Investor

Kerusakan Akibat Penambangan
CENDANANEWS (Ambon) – Eksplorasi dan eksploitasi tambang emas di pulau Romang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku yang dilakukan PT Gemala Borneo Utama (GBU) mendapat penolakan dari warga Desa Hila, Kecamatan Kepulauan Romang.
Tokoh Masyarakat Maluku Barat Daya (MBD) yang juga Pegiat Tambang Romang, Oyang Orlando Petrus, yang dikonfirmasi CENDANANEWS di Ambon Senin (25/5/2015) mengatakan, akibat aktivitas perusahaan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan kini mulai dirasakan masyarakat setempat. 
“Bau menyengat gas yang berasal dari lubang yang dibor untuk keperluan eksplorasi, pencemaran tanah akibat tumpahan minyak, disamping kesulitan air bersih dan matinya tanaman warga, menjadi alasan dibalik penolakan ini,”katanya.
Penolakan ini secara resmi telah disampaikan melalui surat tertanggal 25 Maret 2015 ke pihak PT GBU dan tembusannya ditujukan kepada sejumlah pihak, termasuk Kementerian ESDM Jakarta, ESDM Maluku dan MBD serta wakil rakyat.
Surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Desa Hila L. Johansz dan Orleta Nuwaru serta Orleta Lareoni sebagai pemilik hak ulayat. Apabila surat ini tidak disikapi secara serius oleh pihak perusahaan, perlawanan hingga titik darah penghabisan akan dilakukan oleh seluruh warga di Pulau Romang. 
Ancaman ini tentu saja mengingatkan public akan penyerangan yang dilakukan oleh warga Desa Jerusu beberapa waktu lalu, dengan membakar dan merusak alat berat serta kamp milik perusahaan yang saat itu melakukan aktivitas diatas hak ulayat mereka.
Perlawanan ini mengakibatkan perusahaan yang telah mengangkut ribuan ton material dengan alasan uji sampel ini angkat kaki dari Pulau Jerusu.
Oyang mendukung langkah yang ditempuh oleh pemerintah desa dan pemilik lahan.
Selain kerusakan lingkungan, surat kemitraan antara pihak perusahaan dengan kepala desa setempat serta pemilik ulayat untuk eksplorasi telah berakhir 15 Maret 2015 lalu. Menurutnya, surat perjanjian tersebut dibuat menindaklanjuti Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Pemkab setempat.
Namun dengan kondisi lingkungan yang rusak akibat dari 500 mata bor yang menghujam pulau kecil tersebut, akhirnya warga bersepakat untuk tidak lagi memperpanjang kerjasama untuk kepentingan exploitasi.
Oyang menilai, kerjasama atau kesepakatan yang dibuat untuk melakukan eksplorasi juga sangat merugikan masyarakat setempat. Pasalnya, selama proses eksplorasi, ribuan ton material telah dikeluarkan dari Pulau Romang, dengan alasan uji sampel.
Sikap tidak transparan dari PT GBU menimbulkan tanda tanya di benak masyarakat. Padahal dari informasi yang berhasil dihimpun oleh pihaknya dari sumber di PT GBU, perusahaan dimaksud sudah melakukan pemetaan dan mengklasifikasi kandungan mineral yang ada di Pulau Romang.
Sekitar 150 hektar lahan diberikan kode batu hitam mengandung nikel, mangan, tembaga dan biji besi, sedangkan 150 hektar dengan kode batu hitam, mengandung emas murni dan mangan dengan deposit 1800 ton.
Sedangkan mangan juga ribuan ton. Padahal PT GBU sampaikn uji sampel hnya 0, sekian gram. Oyang meyakini, pihak PT GBU tidak akan begitu saja menerima penolakan ini. Tapi, jika perusahaan tetap bersikukuh, Oyang mengusulkan agar kedua belah pihak duduk bersama, dengan harapan pihak desa akan meninjau kembali keputusan tersebut, dalam sebuah pertemuan.
“Keputusan warga bisa saja berubah, apabila pihak perusahaan mau duduk bersama warga untuk kembali melakukan kerjasama lanjutan dengan mempertimbangkan kerugian besar yang dialami warga. Dalam pertemuan ini juga, warga harus dijadikan sebagai subjek, bukan objek semata,” tegasnya.
Lanjutnya, warga menuntut ganti rugi atas tanaman mereka yang mati dan perjanjian tersebut harus menguntungkan masyarakat setempat. “Kita bisa kembali duduk bersama, apabila ada jaminan tidak terjadi kerusakan lingkungan dan warga menjadi tuan dipulaunya,” cetusnya.
Senada dengan itu, Ketua Mahasiswa Romang, Ishack Knyarilay menegaskan, pihaknya akan menggelar aksi demo mengerahkan massa dalam jumlah besar, apabila dalam negosiasi nanti, keinginan warga tidak diakomodir.
“Kita akan tetap berada dipihak masyarakat. Apalagi saat ini, pihak perusahaan harus mengantongi ijin dari Pemprov Maluku, bukan lagi Pemkab. Jadi kami harap, dalam negosiasi dan kerjasama ini, keinginan masyarakat diakomodir. Namun apabila masyarakat dirugikan, kita akan tetap melakukan perlawanan,” tegasnya.
Dia meminta Pemda Provinsi Maluku tidak menutup mata atas kepentingan masyarakat kecil, dan tidak mengorbankan rakyat demi kepentingan investor. Sementara itu, dalam surat pernyataan sikapnya, pihak pemerintah desa meminta agar pihak perusahaan memfasilitasi pertemuan dengan pemilik hak ulayat serta mempersiapkan perlengkapan dan akomodasi dalam jangka waktu 3 hari setelah menerima surat tersebut.
Mereka menghendaki pertemuan dilakukan di luar Kota Ambon. Jika, selama jangka waktu tiga hari tidak dilakukan pertemuan, kepala desa dan pemilik hak ulayat menyatakan mundur dan tidak akan melakukan kompromi dengan pihak perusahaan.
Sedangkan dalam tuntutannya yang ditandatangani oleh tokoh pemuda, masyarakat, warga mendesak agar PT GBU menghentikan semua aktivitas penambangan yang merusak atau berdampak terhadap kerusakan hutan produksi rakyat. Termasuk menutup segala aktivitas PT GBU di Hila. Karena perusahaan itu telah menipu masyarakat dan telah merusak budaya adat masyarakat. Jika tuntutan ini tidak ditanggapi, warga mengancam tidak akan bertoleransi atas keberadaan perusahaan tersebut.
——————————————————-
Senin, 25 Mei 2015
Jurnalis       : Samad Vanath Sallatalohy
Fotografer : Samad Vanath Sallatalohy
Editor         : ME. Bijo Dirajo
——————————————————-
Lihat juga...