Ratusan Hektar Lahan Masyarakat Adat di NTB Belum Dapat Pengakuan

Tarian adat Khas sasak membuka acara dialog
CENDANANEWS (Mataram) – Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), HM. Amin menyebutkan, sebanyak 400 hektar lahan yang saat ini dikelola masyarakat adat di NTB statusnya masih belum jelas dan belum mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah, karena masih membutuhkan proses verifikasi, apakah lahan yang dikelola tersebut bisa dimasukkan sebagai lahan tanah adat.
“Terkait permasalahan pengakuan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat atas pengelolaan lahan memang menjadi masalaha sensitif dan ini tidak hanya terjadi di NTB, juga terjadi di daerah lain, tapi dalam hal membuat kebijakan dan pengakuan formal terhadap wilayah adat , semua butuh proses” kata Amin saat membuka dialog nasional wilayah kelola rakyat di Mataram, Jum’at (17/4/2015).
Wakil Gubernur NTB, HM. Amin

Amin mengatakan, di NTB sendiri konflik terkait sengketa lahan antara masyarakat dengan pemerintah, dengan perusahaan dan masyarakat dengan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir memang sering terjadi seiring dengan kemajuan pembangunan yang terus berlansung dan membutuhkan banyak lahan.

“Terkait permasalahan pengakuan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat atas pengelolaan lahan memang menjadi masalah sensitif dan ini tidak hanya terjadi di NTB, juga terjadi di daerah lain, tapi dalam hal membuat kebijakan dan pengakuan formal terhadap wilayah adat , semua butuh proses” kata Amin .
Menurut Amin, dalam mengeluarkan suatu kebijakan, pemerintah tidak bisa serta merta  dilakukan begitu saja, butuh penelitian, penelaahan dan pengakuan yang melibatkan para peneliti, ahli,serta pemangku kebijakan, mana saja yang disebut wilayah adat atau wilayah kelola rakyat.
“Kita berharap seminar nasional yang diselenggarakan hari ini bisa menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang nantinya bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi Pemda NTB dalam hal kebijakan pengakuan atas wilayah adat dan wilayah kelolah rakyat,”katanya. 
Sementara itu, Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Amri Khairul Tarigan mengatakan, hampir sebagian besar lahan hutan di Indonesia selama ini kondisinya cukup memperihatinkan, selain disebabkan pembalakan liar, sebagian juga disebabkan oleh penguasaan hutan oleh sejumlah perusahaan.
Karena itu, pemerintahan dalam hal membuat kebijakan terkait pengelolaan hutan, selain melalui seperangkat aturan yang diberlakukan, juga harus lebih banyak melibatkan masyarakat adat, untuk memastikan kelestarian hutan bisa tetap terjaga dari ancaman kerusakan dan pembalakan liar.
“Harus lebih banyak melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan lahan hutan, kalau ingin kelestarian lingkungan dan lahan hutan bisa tetap terjaga, karena bagaimanapun selain memiliki hak atas pengelolaan hutan sebagaiman yang diatur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 tahun 2013, masyarakat adat juga memiliki aturan tersendiri dalam menjaga hutan tetap lestari, dengan senantiasa mengedepankan nilai kearifan lokal,” katanya.
Tapi dalam kenyataannya keberadaan masyarakat adat di tengah masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan terkait pengelolaan lahan hutan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah kurang terlalu diperhatikan dan jarang sekali dilibatkan.
Penguasaan lahan hutan atas masyarakat adat belakangan justru semakin dikesampingkan dengan alasan dan argumentasi hutan adalah milik negara, belum lagi penguasaan yang dilakukan sejumlah perusahaan, sehingga hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan lahan hutan menjadi terabaikan.
“Hal semacam inilah yang kemudian menyulut terjadinya konflik lahan berkepanjangan antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan dan masyarakat dengan masyarakat,”katanya .
Padahal, kata Amri UU sudah secara jelas memberikan hak atas penguasaan pengelolaan lahan hutan bagi masyarakat, terutama masyarakat adat yang  bermukim disekitar hutan, dialog nasional kebijakan daerah untuk pengakuan wilayah adat dan wilayah klola rakyat yang dihadiri peserta dari seluruh daerah hari ini diharapkan bisa menghasilkan rekomendasi yang mampu mengembalikan kembali masyarakat adat atas pengelolaan wilayah, lahan hutan adat .

———————————————-
Jumat, 17 April 2015
Jurnalis : Turmuzi
Fotografer: Turmuzi
Editor : ME. Bijo Dirajo
———————————————-

Lihat juga...