Dikie Pano, Propaganda Tuanku Imam Bonjol Yang Hampir Punah

Dikie Pano [Foto:CND]
CENDANANEWS (Padang) – Festival kesenian tradisional Nan Jombang, menguak sedikit propaganda perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Pertunjukan kesenian yang diadakan di Ladang Tari Nan Jombang, Balai Baru Kota Padang dipadati penonton pada Jum’at (3/4/2015) malam. 
Dikie Pano, sebuah tradisi berdzikir ala kabupaten Pasaman. Grup kesenian tradisional Bundo Kanduang menjadi satu-satunya grup tradisional yang masih mempertahankan kesenian Dikie Pano.  Kesenian ini merupakan perpaduan kemahiran menabuh (mangguguah) Pano (Rebana Besar), dengan lantunan Dikie (lagu tradisional) yang berisikan petuah adat dan agama.
Menurut pimpinan grup kesenian Bundo Kanduang, Andermi. Dikie Pano ini dipakai oleh Tuanku Imam Bonjol dalam berdakwah dan menyampaikan propagandanya ke tengah masyarakat. Apalagi dikala itu, perang Paderi tengah berkecamuk dan Belanda menjadi pihak yang mengambil keuntungan dari konflk tersebut.
“Karena perang Paderi, masyarakat menjadi sangat sensitif apalagi Belanda sangat mengawasi pergerakan Tuanku Imam Bonjol. Maka lewat tradisi Dikie Pano inilah, Tuanku menyampaikan ajaran agama Islam dan petuah data untuk semua masyarakat,” jelas Andermi pada cendananews.com sebelum penampilan Dikie Pano, Jum’at (3/4/2015) malam.
Dengan tiga orang pangguguah (penabuh) pano, dan dua orang tukang Dikie. Tradisi ini dimulai dengan guguah murai kencak, salah satu teknik menabuh Pano dengan ritme yang cepat. Seusai guguah murai kencak, pertunjukan dilanjutkan dengan Dikie dengan lagu Sikambang Pasambahan bertempo lambat.
Dikie dengan lagu Sikambang ini alunan vokalnya gembira, tempo Dikie lebih lambat. Dua ritme pantun berima itu diselingi guguahan Pano, dan berlanjut dengan pantun petuah kehidupan.
Disesi terakhirnya, Dikie Pano memiliki guguhan nan energik, para penabuh Pano melakukan guguah tupai bagaluik. Tempo tabuhan Pano saling berkejaran dengan alunan Dikie lagu Siti Arafah dan Dikie Sikambang berisikan pantun petuah adat.
Pertunjukan tradisional Dikie Pano ini telah tampil sebelumnya di Nan Jmbang Tanggal 3 pada tahun 2013. Dan pada tahun ketiga festival bulanan ini, mereka kembali tampil. Namun sangat disayangkan, kesenian tradisi ini sudah mulai hilang dan tidak ada regenerasinya.
Sayangnya, Dikie Pano ini telah terkikis zaman. Para generasi muda tidak ada lagi yang mempelajarinya. Seperti diungkapkan Andermi, para pemain Dikie Pano pada pertunjukan malam tadi adalah generasi terakhir dari masyarakat Pasaman yang masih memainkan Dikie Pano.
“Kami sangat cemas, karena tradisi ini sudah mulai hilang. Tidak ada lagi yang memainkannya, bahkan kami telah membicarakan ini dengan Ery Mefri (pimpinan Nan Jombang Dance Company) agar beliau mau mengambil seni tradisi ini dan dikembangkan serat dilestarikan. Hingga suatu saat, mana kala ada generasi muda Pasaman yang ingin mengetahui sejarah dan kebudayaannya bisa belajar ke Nan Jombang. Jika tetap di Pasaman, maka kesenian ini akan hilang” pungkas Andermi.

———————————————————-
Sabtu, 4 April 2015
Jurnalis :
Editor   : ME. Bijo Dirajo
———————————————————-

Lihat juga...