Emosi netizen Brazil melupakan fakta-fakta serupa dalam kecelakaan pendakian gunung. Data digital menunjukkan sepanjang 2017-2025 terdapat 9-13 kematian akibat jatuh, kelelahan, atau kondisi medan ekstrem di Rinjani. Kecelakaan (non-fatal): ± 75 kasus jatuh/terkilir, ≥ 7 tersesat, ≥ 19 sakit/kelelahan. Secara prosentase: sekitar 10–15% berakhir fatal dari 75 keadian insiden.
Mount Everest (Himalaya): total kematian (1921–2023): ± 317–340 orang pendaki. Death rate: 1% dari mereka yang mencapai atas base camp atau summit. Jumlah insident per tahun: ± 8–18 kematian: lebih banyak kematian saat turun dari puncak. Pegunungan Alpen (Swiss, Austria, dll): kematian tahunan di Swiss: ± 50–65 jiwa, terutama pejalan kaki dan pendaki. Setara 0,00012–0,00016% per hike-tahun; 6% fatality bagi yang jatuh.
Secara jumlah, Rinjani masih paling kecil, walau secara prosentase tampak besar. Karena diukur dari jumlah insiden. Beda dengan Mount Everest yang dihitung dari total pendaki sampai atas base camp.
Terlepas netizen Brazil berlebihan dan melupakan fakta-fakta itu. Menuding Indonesia negara miskin, tidak kompeten, dan terakhir: gerakan boikot Rinjani. Indonesia memang harus berbenah. Bukan untuk Rinjani saja. Melainkann seluruh destinasi wisata ekstrim. Gunung merapi maupun pantai ombak besar.
Berdasarkan riset digital, diketemukan berbagai pandangan terkait solusi Rinjani sebagai berikut:
Pertama, Sistem Deteksi & Respon Dini di Jalur Pendakian. Masalah utamanya adalah keterlambatan laporan, tidak ada sinyal, medan sulit diketahui dari awal. Solusinya GPS Tracker wajib untuk semua pendaki & pemandu. Tiap kelompok pendaki dibekali tracker real-time (seperti InReach atau SPOT) yang bisa mendeteksi posisi, panic button, dan pengiriman sinyal SOS bahkan tanpa sinyal HP.