Hari berikutnya bersilaturahmi ke teman-teman profesi. Teman-teman kantor. Teman-teman sekolah. Maupun perkolegaan. Guru-guru. Begitu seterunya. Semakin banyak teman, jurnal lebaran semakin panjang. Hingga bulan Syawal berakhir.
Lebaran bukan saja momentum merekatkan solidaritas sosial. Lebaran merupakan restart tahunan atas sistem ketahanan sosial itu sendiri. Momentum untuk memulai interaksi sosial yang baru. Saling memaafkan kesalahan masa lalu. Sambil berkomitmen untuk memulai relasi sosial baru yang lebih baik. Lepas dari jeratan permasalahan yang dialami pada masa-masa sebelumnya.
Itulah kenapa Lebaran bisa menjadi instrumen penguatan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Memperkuat kemampuan kolektif manusia dalam menyelesaikan beragam masalah yang dihadapi bersama. Satu sistem sosial yang secara otomatis mampu menggerakkan dirinya melakukan perbaikan-perbaikan mutu hidup bersama. Mulai skala keluarga, lingkungan hingga skala bangsa.
Sistem sosial seperti itu dibentuk oleh ajaran agama Islam. Ajaran itu diinternalisasikan sebagai budaya masyarakat. Kemudian membentuk sistem ketahanan sosial.
Puasa Ramadhan melatih pribadi-pribadi untuk kuat dalam pengendalian diri. Secara kolektif juga membentuk masyarakat yang kuat dalam pengendalian diri. Tidak mudah tersulut emosi. Mampu berfikir rasional, open minded dan berfikir konstruktif.
Zakat Fithrah melatih kepekaan sosial. Untuk saling meringankan beban hidup. Agar semua masyarakat sekitar mampu menikmati keceriaan bersama.
Islam juga mengajarkan saling memafkan. “Barang siapa memaafkan kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan memaafkan kesalahannya pada hari kiamat nanti”. Bahkan tidak saling bersapa lebih tiga hari berada dalam ancaman dosa. “Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa pada saudaranya lebih dari tiga hari lalu meninggal dunia maka ia akan masuk ke dalam neraka.” (HR Abu Dawud).