Kedua, ia menyatakan berdiri di tengah-tenah rakyat. Bahkan mempersilahkan untuk ditinggalkan jika Prabowo sudah terindikasi meninggalkan rakyat.
Ketegasan menghadapi intrik itu menyelamatkan pendukung Prabowo dan Jokowi terlibat pertengkaran politik. Jika tidak dikendalikan intrik bisa membesar dan merugikan semuanya. Bertengkar untuk sesuatu yang tidak lagi prinsipil.
Bangsa ini telah banyak belajar dari bahaya intrik. Pada era Indonesia modern kita mengenalnya dalam kasus G30S/PKI. Ketika intrik Dewan Jenderal menjadi bola liar, akhirnya berujung kudeta.
Berlindung dibalik spirit penyelamatan presiden dari kudeta Dewan Jenderal, pembunuhan para jenderal terjadi. Ketidaktegasan Presiden Soekarno terhadap PKI, memicu civil war. Pendukung komunis dan anti komunis bertengkar. Banyak nyawa melayang.
Pada awal orde baru, produsen-produsen intrik ini menjadi salah satu yang petrtama-tama dieliminasi.
Cerita tutur masyarakat Jawa juga mengajarkan bahaya strategi komunikasi pemimpin yang memicu multi tafsir. Muncul dalam kasus loyalis Ajisaka: Dora-Sembada. Salah satunya diminta Ajisaka menjaga pusaka. Agar tidak boleh diambil siapapun kecuali Ajisaka mengambilnya.
Suatu waktu Ajisaka memerintah loyalis yang lain, atasa namanya, untuk mengambil pusaka. Bertengkarah dua loyalis itu. Masing-masing menerima perintah dari Ajisaka. Perintah yang berbeda. Bertarunglah dua loyalis itu hingga sama-sama terbunuh. Kisah itu diabadikan dalam huruf Jawa.
Ketegasan Prabowo mengarungi intrik sangat berarti. Untuk tidak membiarkan rakyatnya bertengkar oleh adu kebenaran intepretasi. Oleh kemenduaan intepretasi terhadap suatu hal. Kejelasan sikap pemimpin akan mereduksi intrik-intrik yang berdampak destruktif itu.