Perempuan Pemecah Batu di Kampung Kradenan Semarang
Editor: Koko Triarko
Diakuinya, dalam menggeluti mata pencaharian tersebut tidak mudah. Terlebih sebagai wanita, pemecah batu merupakan pekerjaan yang mengandalkan kemampuan fisik. Perlu usaha yang cukup kuat, untuk bisa memecah batu berukuran besar menjadi kecil.
“Ya, dulu pada awal-awal terjun ke pekerjaan ini badan sakit semua. Pegal linu pinggang dan tangannya, karena harus terus duduk sambil memecah batu. Kalau ketemu batu yang sangat keras, perlu 3-4 kali pukul baru bisa pecah,” tandasnya.
Profesi serupa juga digeluti Nining, ibu rumah tangga di kawasan tersebut. Diakuinya, dengan pekerjaan memecah batu tersebut, setidaknya dia bisa membantu ekonomi keluarga.
“Biasanya, saya mulai memecah batu kalau pekerjaan rumah sudah selesai. Seperti masak atau bersih-bersih rumah. Nanti pukul 8-9 pagi baru mulai, memecah batu, sampai siang. Istirahat, baru kemudian dilanjutkan kembali,” terangnya.
Tidak hanya memecah batu, para wanita di kampung Kradenan Baru tersebut juga ada yang berprofesi sebagai pencari pasir sungai di kali Garang Semarang. Pasir-pasir tersebut nantinya juga dijual ke toko material atau bahan bangunan.
“Kalau saya belum bisa mencari pasir, sebab harus menyelam ke dalam sungai buat mengambil pasir. Pekerjaannya juga lebih berat, meski hasilnya juga lebih besar dibanding memecah batu,” ungkap Nining lagi.
Dijelaskan, untuk satu meter kubik pasir rata-rata dihargai Rp80 ribu -100 ribu, tergantung dari kualitas. Paling bagus jika pasir berwarna hitam dengan sedikit kerikil.
“Ya, saya berharap usaha ini bisa terus kita tekuni,karena hasilnya juga bisa untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Biasanya produksi paling banyak kalau musim kemarau seperti sekarang ini, air sungai surut, jadi bisa mengambil batu dan pasir, dengan lebih mudah,” pungkasnya.