PLTS Atap Bisa Ancam Sistem Kelistrikan PLN

“Berapa investasinya dan berapa harapan KWh yang dijual? Lalu, 50 persen tadi memakai PLTS rooftop, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli. Ini apa yang terjadi?” katanya.
Ia mengungkapkan, jika melihat data statistik, Indonesia hanya menyumbang emisi 1,8 persen, Cina 2,8 persen dan Jepang 3,3 persen. Bahkan, Amerika Serikat menyumbang emisi hingga 14,5 persen. Artinya, Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang mengotori langit dunia.
Fakta ke dua, sebanyak 68 persen pembangkit atau bahan baku pembangkit di Indonesia masih menggunakan batu bara yang harga jual listriknya termurah.
Dari dua fakta ini, Iwa menyarankan penggunaan PLTS Atap tidak boleh terburu-buru dan terlalu masif. “Kita selalu membandingkan dengan negara, ini bukan pertandingan,” ujar Iwa.
Apalagi, saat ini ada rencana merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi itu menyebutkan, bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan menjadi 100 persen atau naik 35 persen dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65 persen. Artinya, PLN harus membeli 100 persen listrik PLTS atap.
Iwa mengingatkan, tujuan dari energi untuk masyarakat adalah mendapatkan akses dan harga yang terjangkau. Sedangkan dari sisi PLN, listrik harus beroperasi dengan andal, berkualitas baik, dan ekonomis. “Jadi, sekarang kita masuk green energy. Green energy ini adalah mahal,” katanya.
Lalu, muncul soal PLTS Atap yang murah dan didorong untuk secara masif perkembangannya. Namun, PLTS Atap bersifat intermittent atau tidak bisa berdiri sendiri.