Peran Bulog Dalam Rantai Pasok Perlu Dievaluasi

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Indra Setiawan, menginginkan pemerintah melakukan evaluasi terkait peran Perum Bulog dalam rantai pasok beras nasional, untuk meningkatkan efektivitas Bulog serta menciptakan pasar beras yang lebih sehat.

“Bulog terlibat di tingkat hulu dan hilir dalam rantai pasok beras seperti yang ditetapkan oleh Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Pasal 3 (2). Masalah muncul, karena di tingkat hulu Bulog harus melakukan pengadaan beras dari petani. Tetapi, kemudian Bulog mengalami kesulitan untuk mendistribusikan beras di pasar tingkat hilir,” kata Indra dalam rilis di Jakarta, Sabtu (14/8/2021).

Ia mengemukakan, tidak seperti pihak swasta, Bulog harus membeli beras dengan semua tingkat kualitas dan menyimpan stok penyangga sebagai cadangan nasional di gudangnya.

Apalagi, lanjutnya, penugasan untuk menjaga stok penyangga nasional tanpa kebijakan yang jelas bagaimana distribusinya di tingkat hilir, dinilai memiliki dampak jangka panjang untuk pengelolaan Bulog.

Indra memaparkan, walaupun beras dikonsumsi di seluruh wilayah Indonesia, namun produksinya terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Data BPS 2021 menyebut pada 2020 produsen utama beras di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan total produksi Gabah Kering Giling (GKG) masing-masing sejumlah 9,94 juta ton, 9,48 juta ton dan 9,01 juta ton.

Provinsi di luar Jawa ada di urutan berikutnya, yaitu Sulawesi Selatan dan Sumatra Selatan, dengan 4,71 juta ton dan 2,74 juta ton.

“Perdagangan beras yang timbul akibat perbedaan tingkat produksi beras di setiap wilayah menjadi tidak terhindarkan. Perbedaan proses yang berbeda di setiap wilayah menyebabkan rantai pasok menjadi sangat rumit. Mempertimbangkan kondisi tersebut, peran Bulog dalam rantai pasok beras perlu dipertimbangkan kembali. Bersaing dengan sektor swasta akan selalu membuat Bulog menjadi pihak yang merugi.

Lihat juga...