Membangun Pengetahuan Adat Melalui Konektivitas Antar Generasi
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
“Tidak hanya itu, kami juga melakukan pameran pada even nasional serta membangun potensi wisata khusus secara online, untuk menjangkau semua orang yang tertarik belajar tentang adat Mollo,” tandasnya.
Tujuan yang sama juga dikemukakan oleh Pegiat Adat Modesta Wisa yang mendirikan sekolah adat di Kampung Landak Kalimantan Barat.
“Masalah pertama yang kita lihat di kampung adalah tidak banyak lagi orang yang menggunakan bahasa ibu. Mayoritas yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu Pontianak,” kata Wisa.
Karena itu, lanjutnya, ia dan teman-temannya memutuskan untuk membangun sekolah adat Samabue.
“Samabue ini merupakan nama bukit di Kampung Landak yang disakralkan. Selalu disebut dalam panjatan doa leluhur dan bagian dari ritual adat,” ujarnya.
Di sekolah adat Samabue ini, juga diajarkan tarian tradisional, obat tradisional, makanan tradisional dan pembuatan produk lokal.
“Selain bahasa, masalah lainnya adalah krisis identitas. Sudah tidak banyak ritual adat dilakukan. Banyak ibu-ibu yang sudah tidak melakukan perladangan karena tidak ada lagi dan banyak anak-anak yang tidak lagi memainkan permainan tradisional karena tergantikan oleh gadget,” paparnya.
Selama lima tahun sekolah adat Samabue ini berjalan, capaian yang sudah didapat adalah adanya regenerasi pada pemberi ilmu.
“Di awal, kami memulai hanya dengan tujuh orang yang belajar tarian tradisional. Tapi saat ini sudah mencapai 200 orang lebih dan para pelajar yang dulu awal sudah mampu membagi pengetahuan yang mereka dapat ke adik-adiknya,” pungkasnya.