Tahun 2020, Pendidikan Indonesia Dinilai Simpang Siur dan Tak Ada Koordinasi
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
JAKARTA — Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Tata Kelola Pendidikan dan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) jadi sorotan pada kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang digawangi Nadiem Makarim. Keprihatinan akan simpang siur informasi dan kurangnya koordinasi jadi rapor merah selama tahun 2020.
Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Rakhmat Hidayat menyatakan pendidikan Indonesia selama tahun 2020, bisa dinyatakan buruk karena tiga alasan.
“Ada tiga hal. Yang pertama, ketimpangan struktural saat berlangsungnya PJJ. Karena pemerintah hanya melihat masalah yang terjadi saat pengaplikasian PJJ sebagai hal teknis operasional,” kata Rakhmat saat dihubungi, Kamis (31/12/2020).
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud), lanjutnya, tidak menyelesaikan isu strategis.
“Yang jadi masalah itu kan sarana dan prasarana belajar, ketimpangan akses internet, perbedaan level ekonomi masyarakat dan semakin banyaknya peserta didik yang putus sekolah akibat penurunan ekonomi,” urainya.
Istilahnya, kata Rakhmat, pemerintah hanya seperti pemadam kebakaran, yang datang ke lokasi kebakaran hanya untuk memadamkan api.
“Tapi tidak menyentuh akar masalah. Ini harusnya menjadi masalah lintas sektor, bukan hanya kemdikbud saja. Harusnya ada pendekatan strategis komprehensif untuk masalah PJJ ini,” ucapnya.
Alasan kedua, masalah tata kelola pendidikan yang selama tahun 2020, terlihat sporadis.
“Karena tidak dilakukan secara sistematis, terencana dan terintegrasi. Serta tidak adanya konsolidasi di internal Kemdikbud sendiri,” ujar Rakhmat.
Selama tahun 2020, Kemdikbud sering kali misinformasi dan mismanajemen. Contohnya pada program OP, yang berakhir dengan keluarnya beberapa organisasi pendidikan dan pada wacana perubahan kurikulum.