Keawetan Kayu Tentukan Kualitas Produk ‘Furniture’
Editor: Koko Triarko
Laki-laki yang menjadi disablitas akibat kecelakaan motor dan harus memakai kruk atau tongkat ketiak itu, mengaku optimis. Dengan keterbatasannya, ia tetap bisa membuka usaha kecil furniture. Berkat usahanya, ia bahkan telah memiliki belasan karyawan yang membuatnya bisa membuka lapangan usaha. Dengan upah puluhan ribu hingga jutaan rupiah, ia bisa memberi sumber pemasukan bagi sejumlah pemuda.
Usahanya juga sekaligus menjadi penyerap sejumlah kayu yang ditebang oleh pemilik curciluar saw machine atau serkel. Petani yang memiliki pohon kayu mutu kelas baik jenis medang, jati dan bayur kerap menjualnya untuk kebutuhan. Sarifudin kerap membeli langsung dari petani, dan menggunakan jasa pemilik mesin serkel.
“Sebagian pemilik serkel yang menjual kayu kelas kepada saya, karena tahu mutu kayu yang saya gunakan,” bebernya.
Susilo, salah satu rekanan yang diajak berbisnis dengan Sarifudin, menyebut serapan kayu dengan tingkat keawetan tinggi sangat banyak. Ia kerap harus mencari permintaan kayu jati, medang dan bayur yang makin langka keberadaannya. Sebagian kayu kelas kerap berada di lokasi yang jauh dari permukiman, lereng perbukitan. Mesin serkel harus dibawa memakai kendaraan beroda empat.
“Saya mendapat pesanan dari pemilik pohon untuk dipakai sendiri atau ditebang, dipotong menjadi bahan lalu dijual ke pemilik usaha furniture,”cetusnya.
Sistem kubikasi diterapkan dalam pemotongan kayu sesuai jenis bahan yang dibuat. Mulai dari papan, kasau hingga balken, ia mematok harga mulai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Satu pohon besar jenis medang, bisa menghasilkan lima kubik kayu. Serapan kayu untuk bahan bangunan, membuat hasil pengolahan mesin serkel bisa langsung digunakan.