Dikti Lebih Berhasil dalam PJJ Dibandingkan Dikdasmen

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

“Kesiapan ini terbukti, saat Kemendikbud melakukan survei di awal pandemi, ada 90 persen mahasiswa memilih kuliah tatap muka. Tapi saat dilakukan survei lanjutan, 70 persen dosen dan mahasiswa menilai PJJ dilakukan dengan baik dan sangat baik,” ucapnya lebih lanjut.

Unika Atmajaya pun, lanjutnya, dalam surveinya mencatat, 94 persen responden mengapresiasi pemberlakukan PJJ selama masa pandemi. Dan 62 persen merasa tujuan pembelajaran tetap tercapai dengan PJJ.

Kesiapan universitas secara umum ini, ungkap Christ Billy jangan membuat pemerintah lupa, bahwa ada masalah lain yang harus diselesaikan dalam PJJ Dikti.

“Perlu dipahami bahwa perguruan tinggi itu tidak semua sama. Masih ada perbedaan antara kualitas perguruan tinggi yang ada di Pulau Jawa dan yang ada di luar Pulau Jawa. Artinya, dalam proses pelaksanaannya juga akan berbeda hasilnya. Walaupun secara umum dapat dikatakan PJJ Dikti lebih berhasil dibandingkan Dikdasmen,” paparnya.

Dan kembali ia mengingatkan masalah akses teknologi yang tidak merata, menyebabkan ada sebagian mahasiswa yang kesulitan melakukan PJJ karena tidak adanya jaringan teknologi yang memadai.

“Memang pemerintah melalui Dirjen Dikti sudah melakukan banyak hal dalam pengaplikasian PJJ ini. Seperti pengadaan pelatihan daring baik dosen maupun fasilitas kuota. Dan kondisi mahasiswa yang mayoritas perantauan merupakan cara yang tepat untuk memutus rantai COVID-19,” paparnya lebih lanjut.

Tapi karena perantauan inilah, maka akses teknologi menjadi poin penting dalam memastikan setiap mahasiswa dapat melaksanakan PJJ.

“Karena inilah, untuk memastikan keberlanjutan PJJ dalam mencapai tujuan pembelajaran dibutuhkan kontribusi semua pihak dalam rangkaian penta helix. Akademisi, pelaku bisnis, komunitas, pemerintah dan media harus bekerja sama dalam menghadapi pandemi COVID-19 dengan adaptif,” pungkasnya.

Lihat juga...