MANILA – Ketegangan di Laut Cina Selatan akan memuncak karena persaingan Amerika Serikat dan Cina, tetapi suasana akan tetap terjaga jika negara-negara di Asia Tenggara tetap bersatu untuk mempertahankan status quo, kata Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, dalam sebuah sesi diskusi.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) terjebak di tengah-tengah rivalitas AS dan Cina, dan upaya mereka memperebutkan pengaruh di kawasan. Namun, ASEAN memiliki kemampuan untuk memelihara stabilitas di kawasan dan seluruh anggota perhimpunan harus menempuh cara yang sama, kata Lorenzana.
“Di mana ASEAN di tengah rivalitas negara-negara kuat, visi sentralitas ASEAN memang ada, tetapi yang terjadi justru sebaliknya,” ujar dia.
“ASEAN, jika bersatu, akan memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi isu dan peristiwa di Laut Cina Selatan,” tambah Lorenzana.
Untuk seorang menteri anggota ASEAN, pernyataan Lorenzana diyakini cukup lugas. ASEAN cukup jarang berbicara mewakili perhimpunan untuk menentang militerisasi secara terang-terangan atau bersikap agresif. Pasalnya, beberapa negara khawatir langkah itu akan membuat geram Beijing atau Washington.
Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam memperebutkan wilayah di Laut Cina Selatan dengan Cina. Negara-negara itu, kecuali Brunei, sempat menghadapi kapal-kapal Cina di batas wilayahnya.
Cina tidak mengakui keputusan mahkamah arbitrase internasional pada 2016 yang membatalkan klaim Beijing, bahwa kedaulatan wilayahnya membentang di sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan.
Lorenzana mengatakan, isu Laut Cina Selatan menjadi masalah utama yang dibahas Filipina bersama Jepang, Cina, Australia, Prancis, dan Amerika Serikat, sejak Mei 2020.