Perpaduan Budaya Austronesia dan Megalitik yang Berpotensi Menjadi Destinasi Wisata
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
Skema pendaratan Austronesia memang belum memiliki dukungan otentik. Hanya baru bisa menggambarkan suatu skema berdasarkan data yang ada.
“Kalau melihat lokasinya, ada kemungkinan para petualang Austronesia ini turun di Teluk Waingapu lalu menelusuri Sungai Kambaniru, hingga sampai ke Lambanapu. Tapi sekali lagi itu baru pemodelan saja. Kenapa Lambanapu? karena disana ada daerah yang berpotensi menyokong kehidupan,” paparnya.
Cerita rakyat yang berkembang secara turun menurun adalah nenek moyang Sumba mendarat di Tanjung Sasar yang berada di bagian barat Sumba Timur. Baru mencari tempat hunian dan tiba di Wunga. Tapi ini masih membutuhkan pembuktian.
“Kami pernah ke Tanjung Sasar dan melihat kondisi geografinya yang begitu sulit untuk diakses. Kalau nanti bisa dibuktikan bukti artefaktual, baru lah kita bisa pastikan kebenaran ceritanya,” tandasnya.
Peradaban Austronesia yang bercampur dengan Megalitik ini masih terlihat pada tatanan masyarakat Sumba saat ini.
“Mereka masih melakukan ritual kubur batu, yang identik dengan penggunaan dolmen. Dan ada juga katoda yang biasa diletakkan sebagai bentuk peringatan agar jangan melakukan kerusakan pada area tersebut,” kata Truman lebih lanjut.
Peradaban yang mengusung kehidupan seimbang antara aktivitas manusia dan alam ini menjadi suatu konservasi dan equilibrium di Sumba Timur.
“Masuknya budaya lain itu sebenarnya tidak masalah. Yang penting dipergunakan untuk memperkaya budaya Sumba yang sudah ada. Jangan budaya baru yang masuk menyebabkan generasi muda Sumba tidak mengenali budayanya sendiri,” ujarnya.
Selain itu, eksplorasi pada peradaban ini akan bisa dijadikan pendukung atas kebijakan pemerintah untuk mengembangkan destinasi wisata.