Salawat Dulang, Karya Sastra Lisan Minangkabau yang Sarat Makna
Editor: Mahadeva
PADANG – Berkembangnya agama Islam di Minangkabau, Sumatera Barat, tidak terlepas dari peran para tokoh agama. Di antaranya Syekh Burhanuddin, warga Pariaman yang sosoknya banyak belajar Islam di Aceh.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Sumatera Barat, kegiatannya tidak hanya melalui dakwah dari mimbar ke mimbar saja. Juga dilakukan dengan berbagai media kesenian, salah satunya yang kini dikenal adalah Salawat Dulang.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Gemala Ranti menyebut, salawat dulang atau salawat talam, adalah salah satu karya sastra lisan Minangkabau yang bertemakan Islam. Kegiatannya berupa seni pertunjukkan, melibatkan dua orang pelaku yang membacakan hafalan teks diiringi tabuhan dulang, nampan kuningan berdiameter 65 sentimeter. “Dulang itu ada yang digunakan untuk mengangkut sejumlah sajian makanan, dan ada juga dijadikan untuk tempat makan pengganti piring yang bisa disantap secara bersama seperti makan bajamba,” jelas Gemala, Minggu (27/9/2020).

Untuk sejarah pasti asal mula salawat dulang, sampai saat ini belum dapat disimpulkan. Namun, berdasarkan informasi dari mulut ke mulut, sejarah salawat dulang berawal dari banyaknya tokoh agama Islam Minang yang belajar agama ke Aceh, salah satu diantaranya Syekh Burhanuddin.
Ketika Syekh Burhanuddin kembali ke Minang dan menetap di Pariaman, dari daerah itulah ajaran Islam menyebar ke seluruh wilayah Minangkabau. Di sini ada suatu ketika, saat Syekh Burhanuddin berdakwah dan ia teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu rebana. “Jadi kalau dilihat dari sejarahnya itu konsep awalnya selawat dulang itu dari kesenian rebana. Tapi pas di Minang bukan pakai rebana tapi pakai dulang,” ujarnya.