Kisah Reporter Istana Presiden Masa Soeharto

Sesuai urutan, stabilitas nasional menjadi prioritas Pak Harto. Kata Parni Hadi, ini dapat difahami, karena setiap penguasa baru perlu konsolidasi.

Dia pun menjelaskan, pada waktu itu, kekuatan-kekuatan politik pendukung Bung Karno dan sisa-sisa PKI (Partai Komunis Indonesia) pasca G30S/PKI masih kuat. Karena itu, pendekatan hankam (pertahanan dan keamanan) menjadi prioritas untuk mewujudkan dan menjaga stabilitas nasional.

“Musih-musuh politik” perlu disingkirkan. Karena TNI AD dan PKI dalam era Bung Karno, yang disebut Orla (Orde Lama) oleh Pak Harto dan kawan-kawan, sering berseberangan, dan korban utama dan pertama G30S/PKI 1965 adalah pimpinan teras TNI AD, maka pengikut PKI dan simpatisannya menjadi target pertama.

“Termasuk dalam target pertama ini adalah penerbitan dan wartawan yang mendukung PKI dan simpatisannya. Penerbitannya diberangus dan wartawannya ditahan. Orang-orang dan organisasi-organisasi yang dianggap berhaluan kiri dicurigai, diawasi, dilarang, dan ada pula pimpinannya yang ditahan,” bebernya.

Pak Harto yang berasal dari TNI AD dan pucuk pimpinan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), lanjut Parni Hadi, mengisi posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan dengan personel ABRI, orang-orang yang ia kenal, percayai dan di bawah kendalinya.

Dan, agar para personel ABRI yang menduduki posisi sipil itu tidak diganggu-gugat, maka dikeluarkan doktrin Dwi Fungsi ABRI. Anggota ABRI dapat berfungsi sebagai alat hankam dan bertugas di bidang sipil (nonmiliter). Hasilnya, pemerintahan sipil mulai dari lurah, camat, bupati, gubernur, menteri sampai presiden didominasi oleh personel ABRI.

Lihat juga...